Mengideologikan Kembali Pancasila
Peta yuridiksi Indonesia |
Oleh Silahudin
MENJUAL HARAPAN - Persoalan pergulatan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, dapat dikatakan ‘sedang tidak baik-baik saja’. Peristiwa politik pemilu masih jauh dari harapan “mentahtakan” pemilik kedaulatan, persoalan hukum “masih jauh panggang api” dalam menegakkan keadilan, persoalan ekonomi masih sangat jauh dari pemerataan, persoalan pendidikan masih terbata-bata dalam mengejar ketertinggalan dan pemerataannya.
Pertanyaan mendasarnya, apakah karena abai dalam mengamalkan
nilai-nilai yang sudah terpatri dalam Pancasila? Atau nilai-nilai Pancasila
hanya sekedar jadi “pelamis bibir” dalam pidato politik?
Setiap bangsa dan negara mempunyai ukuran-ukurannya
tersendiri yang menjadikan pedoman pelaksanaan langkah-langkah pembangunannya.
Ukuran-ukuran tersebut sudah barang tentu pertama-tama merujuk kepada ideologi
suatu negara tersebut sebagai cita-cita berbangsa dan bernegara.
Konseptualisasi filsafat
Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang
lalu di mana akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang
sederhana dan permasalahan yang tidak begitu kompleks seperti saat ini.
Filsafat, sering disebut sebagai ratunya ilmu-ilmu. Sejak awal perkembangannya
hingga sekarang tak pernah lepas dari konteks kultural masyarakat dimana ia
berada dan berkembang.
Di masa Yunani kuno, disebut sebagai langkah awal pembebasan
akal manusia dari budaya mitis yang membelenggu potensi-potensi rasional
manusia. Berkembangnya kesadaran baru bahwasanya akal manusia memiliki kekuatan
yang luar biasa tajam untuk membedah segala persoalan. ”Kritis! Itu adalah kata
kunci yang dipegang semua filosof sepanjang zaman”, jelas Donny Gahral Adian
(2002: 1).
Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita
tahu dan apa yang kita belum tahu. Menurut Jujun S. Suriasumantri (2001: 19)
“Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita
ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga
berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang,
seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.”
Filsafat merupakan suatu reflektisi yang merupakan kegiatan
akal budi, perenungan yang direfleksikan filsafat adalah apa saja yang tidak
terbatas pada bidang/tema terentu. Donny Gahral Adian (2002: 3) mendefinisikan
filsafat sebagai “upaya mencari atau memperoleh jawaban atas berbagai
pertanyaan lewat penalaran sistematis yang kritis, radikal, reflektif, dan
integral.”
Berfilsafat sesungguhnya dimulai dari ‘rasa ingin tahu’, dan ‘kepastian
dimulai dari ragu-ragu’. Oleh karena itu karakteristik berfikir filsafat,
seperti dijelaskan Donny Gahral Adian (2002:3) “Filsafat membedakan dirinya
baik dari ilmu pengetahuan lewat pendekatannya yang integral dalam arti
filsafat tidak mengkaji semesta dari satu sisi saja namun secara menyeluruh.
Filsafat bersifat kritis dalam mengkaji objeknya, ia tidak pernah berhenti pada
penampakkan, asumsi, dogmatisme melainkan terus mengajukan
pertanyaan-pertanyaan demi mencapai hakikat.” Jujun S. Suriasumantri (2001: 20)
menjelaskan karakteristik berfikir filsafat, yaitu menyeluruh; mendasar; dan
spekulatif.
Philosopia atau filsafat berarti cinta pada kebijaksanaan.
Cinta artinya hasrat yang kuat atau yang bersungguh-sungguh, sedangkan
kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kebenaran sejati atau kebenaran yang
sesungguhnya.
Hal ini berarti orang yang berfilsafat adalah orang yang
memiliki keinginan untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat akan
dijadikan pegangan atau pedoman untuk mencari kebenaran. Dengan kata lain,
filsafat adalah pandangan hidup dan landasan pemikiran yang bersumber pada
kebijakan moral yang digunakan untuk mengetahui, mempelajari, dan menganalisis
sesuatu fenomena alam maupun sosial untuk memperoleh jawaban yang benar atas
fenomena tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bangsa yang menegara
Proses bangsa yang menegara memberikan gambaran tentang
bagaimana terbentuknya bangsa, di mana sekelompok manusia yang berada di
dalamnya merasa sebagai bagian dari bangsa. Negara merupakan organisasi yang
mewadahi bangsa.
Bangsa tersebut merasakan pentingnya keberadaan Negara,
sehingga tumbuhlah kesadaran untuk mempertahankan tetap tegak dan utuhnya
Negara melalui upaya bela Negara.
Upaya ini dapat terlaksana dengan baik apabila tercipta pola
pikir, sikap dan tindak/perilaku bangsa yang berbudaya yang memotivasi
keinginan untuk membela Negara. Bangsa yang berbudaya, artinya bangsa yang mau
melaksanakan hubungan dengan penciptanya/”Tuhan” disebut Agama; bangsa yang mau
berusaha, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut Ekonomi; bangsa yang mau
berhubungan dengan lingkungan, sesama, dan alam sekitarnya disebut Sosial;
bangsa yang mau hidup aman tentram dan sejahtera dalam Negara disebut
Pertahanan dan Keamanan.
Demikian halnya dengan bangsa Indonesia. Alinea Pertama
Pembukaan UUD 1945 merumuskan bahwa adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia
ialah karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga penjajahan yang
bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan harus dihapuskan.
Apabila “dalil” ini kita analisis secara teoritis, hidup
berkelompok baik masyarakat, berbangsa maupun bernegara seharusnya tidak
mencerminkan eksploitasi sesama manusia (penjajahan) melainkan harus
berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Inilah teori pembenaran paling mendasar
dari bangsa Indonesia tentang bernegara.
Hal yang kedua yang memerlukan suatu analisis ialah bahwa
kemerdekaan merupakan hak segala bangsa. Tetapi dalam penerapannya sering
timbul pelbagai ragam konsep bernegara yang saling bertentangan. Perbedaan
konsep tentang Negara yang dilandasi oleh pemikiran ideologis adalah penyebab
utamanya. Karena itu, kita perlu memahami filosofi ketatanegaraan tentang makna
kebebasan atau kemerdekaan suatu bangsa dalam kaitannya dengan ideologinya.
Namun di zaman modern, teori yang universal ini tidak diikuti orang. Kita
mengenal banyak bangsa yang menuntut bangsa yang sama. Orang kemudian
beranggapan bahwa untuk memperoleh pengakuan dari bangsa lain, suatu Negara
memerlukan mekanisme yang lazim disebut proklamasi kemerdekaan.
Pertama, terjadinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan suatu proses yang tidak sekadar dimulai dari proklamasi. Perjuangan
kemerdekaan pun mempunyai peran khusus dalam pembentukan ide-ide dasar yang
dicita-citakan.
Kedua, Proklamasi baru “mengantar bangsa Indonesia” sampai ke
pintu gerbang kemerdekaan. Adanya proklamasi tidak berarti bahwa kita telah
“selesai”bernegara.
Ketiga, Keadaan bernegara yang kita cita-citakan belum
tercapai hanya dengan adanya pemerintahan, wilayah, dan bangsa, melainkan harus
kita isi untuk menuju keadaan merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
Keempat, terjadinya Negara adalah kehendak seluruh bangsa,
bukan sekadar keinginan golongan yang kaya dan yang pandai atau golongan
ekonomi lemah yang menentang golongan ekonomi kuat seperti dalam teori kelas.
Kelima, religiositas yang tampak pada terjadinya Negara
menunjukkan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Unsur
kelima inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi pokok-pokok pikiran keempat
yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa Indonesia bernegara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang (pelaksanaannya) didasarkan pada
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Negara kebangsaan yang berbentuk kepulauan Indonesia
terbentuk dengan karakteristik unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman,
Inggris, Prancis, Italia, Yunani serta Negara-negara Eropa Barat lainnya, yang
menjadi suatu negara bangsa (nation state) karena kesamaan bahasa. Atau
Australia, dan juga negara-negara Asia Selatan lainnya, yang menjadi satu
bangsa karena kesamaan wilayah daratan. Latar belakang historis dan kondisi
sosiologis, antropologis dan geografis Indonesia yang unik dan spesifik seperti,
bahasa, etnik, atau suku bangsa, ras dan kepulauan menjadi komponen pembentuk
bangsa yang paling fundamental dan sangat berpengaruh terhadap realitas
kebangsaan Indonesia saat ini.
Negara kebangsaan kita juga terbentuk atas prakarsa dan usaha
yang “berdarah-darah” dari Founding Fathers dan seluruh pejuang
Indonesia, yang tanpa kenal lelah keluar masuk penjara dan dibuang ke tempat
pengasingan, serta gugur sebagai pahlawan bangsa, oleh pemerintah kolonial atau
penjajah guna memantapkan rasa dan semangat kebangsaan Indonesia yang resminya
lahir pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 — sebelumnya diawali dengan
terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 yang menandai Kebangkitan Nasional
Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia lahir melalui proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, yang
pada bagian pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar negara.
Pancasila merupakan sublimasi dan kristalisasi dari pandangan
hidup (way of life) dan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang mempersatukan
bangsa kita yang beraneka ragam suku atau etnik, ras, bahasa, agama, pulau,
menjadi bangsa yang satu, Indonesia.
Pancasila sebagai sebuah momen bangsa, bahkan jelas
Kuntowijoyo (1994) ”sebagai puncak pemikiran tentang hati nurani yang terdalam,
dan sekaligus suatu dokumen hidup yang secara terus menerus dapat dipakai
sebagai referensi.”
Problem berbangsa dan bernegara
Perjalanan kehidupan negara bangsa ini, apakah telah tumbuh
sebagaimana yang diharapkan para pendiri bangsa (founding fathers)? Bagaimana
kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai ukuran-ukuran implementatif untuk
merajut hidup dan kehidupan yang beradab yang dioperasionalisasikan dari
nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara ini?
Pancasila yang mengandung nilai-nilai dasar relevan dengan
proses dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara filosofis,
yuridis, maupun sosiologis. Pancasila sebagai falsafah negara bangsa ini, dan
ideologi merupakan suatu sistem nilai yang memberikan motivasi, tekad dan
berjuang.
Ideologi sesungguhnya merupakan kebulatan ajaran tentang
kehidupan yang dicita-citakan (pandangan hidup) kenegaraan dan kemasyarakatan.
Atau ideologi sebagai suatu gagasan yang berdasarkan suatu idea tertentu, yang
menjadi pedoman perjuangan untuk mewujudkan idea tersebut.
Bagi bangsa dan negara Indonesia yang dimaksud ideologi
adalah Pancasila sebagai pandangan hidup, jiwa dan kepribadian, dasar negara
Indonesia. Pancasila menjadi pegangan dan pedoman bagaimana bangsa Indonesia
memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul
dalam gerak masyarakat yang semakin majemuk.
Dengan demikian, ideologi memberikan dasar etika pelaksanaan
kekuasaan politik, dapat mempersatukan rakyat suatu negara. Ideologi juga
memberikan pedoman untuk memilih kebijakan.
Ideologi Pancasila bersumber pada cara pandang integralistik
yang mengutamakan gagasan tentang negara yang bersifat persatuan. Ideologi
Pancasila sebagai suatu kesatuan tata nilai tentang gagasan-gagasan yang
mendasar, yang didasarkan pada pandangan hidup bangsa, yang merupakan jawaban
terhadap diperlukannya falsafah dasar negara Republik Indonesia.
Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 sebagai berikut: ”...
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kemanusiaan yang adil beradab. Persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Pancasila sebagai ideologi, sesungguhnya mengandung dimensi
ideologi murni dan praktis. Kuntowijoyo (1994) menjelaskan bahwa ideologi murni
lahir dari khazanah sejarah masa lampau, sedangkan ideologi praktis dapat
diamati sepanjang perjalanan sejarahnya. Kalau latar belakang budaya dan
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia telah menjadi dasar penyusunan sila-sila
Pancasila, maka pengalaman sejarah dalam Revolusi Kemerdekaan, periode
percobaan dengan demokrasi liberal, periode demokrasi terpimpin, dan periode
pembangunan sekarang ini ( Orde Baru – penjelasan penulis) menjadi dasar bagi
penyusunan ideologi praktis itu. Sebuah ideologi mengandung kedua unsur, murni
dan praktis, yang masing-masing akan saling menunjuk. Jika ideologi murni itu
kurang lebih permanen, maka ideologi praktis dapat saja berubah.
Lanjut Kuntowijoyo, selain itu, sebuah ideologi mempunyai
unsur yang penting yaitu idealisme. Maka ketika kita berbicara Ideologi
Pancasila sebagai hasil dari sebuah proses, sejarah merupakan satu-satunya
pembenar terhadap ideologi. Ideologi juga dimaksudkan untuk mengubah sejarah,
dalam arti bahwa ia mempunyai rujukan dalam aktualisasi, tetapi tidak
semata-mata menyerah kepada perintah-perintah sejarah yang dipaksakan ......
hubungan antara ideologi murni dengan realitas sejarah diwujudkan dalam
ideologi praktisnya, yaitu bagaimana seharusnya realitas itu ditafsirkan dan
diberikan jalan ke pemecahan persoalan-persoalannya. Pendekatan sebuah ideologi
seperti Ideologi Pancasila bukanlah semata-mata sebuah praxis, tetapi juga
sebuah nilai, cita-cita, harapan, bahkan sebuah impian yang ingin diwujudkan.
Dengan demikian, gagasan-gagasan dasar yang dikemukakan oleh
ideologi Pancasila sebagai falsafah negara, sesungguhnya dapat ditelusuri di
dalam Undang-Undang Dasar 1945, karena secara konstitusional itu telah menjadi
pijakan bernegara dan berbangsa. PadmoWahjono (1993: 235) menjelaskan yaitu
sebagai berikut:
a. Mengenai bermasyarakat, yang kita
jumpai nilai-nilai dasarnya di alinea I Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Mengenai bernegara, yang kita jumpai
pada alinea II Pembukaan;
c. Mengenai terjadinya negara, yang kita
jumpai pengertiannya di dalam alinea III Pembukaan;
d. Mengenai tujuan bernegara, pengertian
kerakyatan atau demokrasi, dan kedaulatan rakyat atau kekuasaan tertinggi di
dalam negara yang berada pada rakyat, kesemuanya dirumuskan di dalam alinea IV
Pembukaan.
Jadi, setiap negara lahir dan berdiri, sesungguhnya karena
didasari oleh suatu cita-cita dan tujuan yang ingin diraihnya dalam
penyelenggaraan bernegara bagi kehidupan masyarakatnya. Cita-cita yang ingin
diraih itu, diwujudkannya dalam ideologi negara tersebut sebagai pijakan arah
perjuangannya. Tanpa memiliki cita-cita dan tujuan, tampak akan kehilangan arah
dalam merealisasikannya. Itu sebabnya, setiap pemahaman atau konsep tentang
negara bergantung pada pemahaman atau konsep yang tepat tentang tujuan-tujuan
Negara.
Jellinek membagi dua tujuan Negara, yaitu yang objektif dan
subjektif. Objektif dibagi dalam objektif universal/umum dan objektif
partikuler/khusus.
Tentang tujuan Negara yang objektif universal, jauh hari
sudah dibicarakan sejak Plato. Aliran ini mendeskripsikan tujuan Negara adalah
dirinya sendiri, Negara sendiri merupakan tujuan, karena Negara sebagai
organisme. Tujuan Negara yang objektif partikuler, dipilih dan ditetapkan oleh
Negara masing-masing berdasarkan perkembangan sejarahnya sendiri.
Adapun tujuan Negara yang subyektif bahwa tujuan-tujuan
Negara beraneka ragam berdasarkan pandangan masing-masing negara hingga kepada
aspek-aspek dan sifat-sifat tujuan itu sendiri secara khusus individual.
Tujuan Negara RI dapat disimak pada Pembukaan UUD 1945: a) Alenia
kedua, …Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, dan
b) untuk mencapai tujuannya itu, maka dibentuklah suatu Pemerintahan Negara
yang mempunyai fungsi seperti nampak pada tujuan.
Keberadaan negara Indonesia ini, yaitu: a) melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; b) memajukan kesejahteraan
umum; c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan d) ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan Negara RI mempunyai tujuan bersifat objektif
particular, namun dalam menyimak fungsi pemerintahan Negara RI, mempunyai
tujuan universal. seperti ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Fungsionalisasi ideologi Pancasila terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara Indonesia hendaknya dilihat Pancasila sebagai
dasar/ideologi negara yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan
jabarannya dalam pasal-pasal (termasuk yang telah diamandemen).
Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah dan ideologi nasional
Negara Republik Indonesia, niscaya dapat terinternalisasi di dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa, melalui sosialisasi nilai-nilai Pancasila tersebut, sehingga
dapat membudaya dan mengamalkannya.
Bila itu dirumuskan dalam konseptualisasi kebijakan bernegara
dan berbangsa, maka nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional dapat
berkembang dan bertahan terhadap gempuran ideologi-ideologi lain.
Ini berarti, penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia,
dapat merumuskan dan mengambil langkah-langkah yang tepat dalam setiap
kebijakan-kebijakannya. Namun dapat pula terjadi sebaliknya, bila memang
nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional, hanya dijadikan sebagai alat
politik kekuasaan pemegang kekuasaan, tentu saja ideologi Pancasila semakin
terpinggirkan di bumi nusantara ini, dan terdesak, bahkan luntur oleh ideologi
lain.
Catatan penutup
Mengideologikan kembali Pancasila sangat urgen untuk
memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa, mengajarkan nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Pancasila sebagai identitas Indonesia dapat menjaga
kedaulatan negara bangsa dari pengaruh negatif yang datang dari luar, sehingga kedaulatan
rakyat secara politik dan budaya tidak terombang ambing kepentingan sempit
tertentu. Selain itu pula, Pancasila sebagai sumber warisan bagi generasi
mendatang dengan menanamkan nilai-nilainya untuk menjadi pemimpin bangsa yang
berkarakter.
Dengan demikian, Pancasila mesti menjadi sumber inspirasi
dan kekuatan untuk membangun Indonesia yang lebih baik dalam tatanan kehidupan
negara bangsa.
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral, 2002, Menyoal Objektivisme Ilmu
Pengetahuan, Teraju Khazanah
Pustaka Keilmuan, Jakarta.
Kuntowijoyo, 1994, Demokrasi & Budaya Birokrasi, Bentang
Budaya, Yogyakarta
Rodee, Carlton Clymer, 1993, Pengantar Ilmu Politik, Rajawali
Pers, Jakarta
Sukarna, 1981, Ideologi Suatu Studi Ilmu Politik, Alumni,
Bandung.
Sumarsono, S. Drs. Dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama
Suseno, Franz Magnis, 1994, Etika Politik, Prinsip-Prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S., 2001, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
UUD 1945 Amandemen Keempat