HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Demokratisasi Politik

 


 

Oleh Silahudin

GELIAT aspirasi dan tuntutan rakyat dalam ruang lingkup politik negeri ini bersentuhan dengan isu politik demokratisasi. Makna penting itu diposisikan bagi terimplementasikannya kehendak keseimbangan kekuasaan. Distribusi kekuasaan harus benar – benar berjalan sebagaimana yang diharapkan, meski tampak masih centang perenang.

Latar sebab itu, karena selama ini peta kehidupan politik masih saja didominasi oleh fihak eksekutif. Dari kenyataan itu otoritas kekuasaan senantiasa datang dari arus atas (baca; elit penguasa), sementara fihak infrastruktur politik, tidak terkecuali ketiga kekuatan sosial politik (PPP, Golkar dan PDI) masih dalam bayang – bayang kontrol supratruktur politik. Juga monopoli tafsir (politik) senantiasa datang dari fihak elit penguasa, sehingga dalam dinamika dan budaya politik negeri ini statement yang datang dari arus atas, seringkali menjadi rujukan yang representatif.

Isu santer lainnya paling tidak adalah diskursus pemberdayaan rakyat. Wacana pemberdayaannya menjadi penting dalam panggung politik nasional, oleh karena rakyat masih tersubordinasikan oleh kepentingan politik kekuasaan, sehingga kedaulatan rakyat berbanding terbalik.

Pada persoalan inilah merajut dimensi perubahan dan pembaharuan politik yang makin kondusif, secara niscaya signifikansinya merupakan bagian integral dalam sistem kepolitikan nasional, dan neracanya tiada lain disandarkan bagi kepentingan rakyat.

Corak sistem politik yang tengah digeluti jelas perkembangannya amat ditentukan oleh kemauan politik kekuatan – kekuatan sosial politik, baik itu di tingkat infrastruktur politik maupun suprastruktur politik. Sebab, tarik ulur kemajuan (pembangunan) politik, tidak dapat dilepaskan dengan indikator diagnosis kekuatan – kekuatan sosial politik. Hal itu tampak berpaut dengan pembangunan yang telah menunjukkan keberhasilan, sehingga logis sekali bagi pemerintah khususnya membuka diri bagi suatu perubahan politik.

Keniscayaan pembaruan politik itu terletak pada kemauan keras ketiga kekuatan sosial politik juga ABRI yang harus lebih aktif menumbuhkembangkan ke arah politik demokratisasi dalam tatanan panggung politik nasional. Dalam pengertian lain, politik demokratisasi secara substansif memberi pencerahan dan sekaligus merupakan kausalitas membudayakan pergumulan kehidupan politik yang bernaung pada neraca keadilan sosial politik, ekonomi dan sosial budaya.

Akumulasi kekuasaan sosial politik dan ekonomi terjadi, sebab pendekatan sentralistis masih juga mengental, sehingga kilas balik dari pendekatan itu masih belum menyentuh dengan berarti bagi kepentingan rakyat banyak. Kesenjangan dan ketimpangan dalam tatanan kehidupan perpolitikan dan perekonomian semakin dirasakan. Karenanya secara realitas, diakui atau tidak budaya kolusi, korupsi, manipulasi dan entah apalagi, kerapkali sulit untuk dielakkan.

Disadari atau tidak, dari proses pembangunan (politik) semacam itu, dapat dicermati pertama dan terutama tumbuh kembangnya eksklusivisme politik dan ekonomi. Dalam arti, kehidupan politik dan ekonomi hanya dapat dinikmati oleh golongan kecil atau elit – elit politik dan ekonomi. Sedangkan rakyat hanya kebagian sentimentilnya saja, karena terpolusi oleh eksklusivisme tadi. Doktor Komaruddin Hidayat pernah menyatakan bahwa, eksklusivisme adalah bisa dari perilaku elit politik dan ekonomi. Jadi eksklusivisme jangan dialamatkan kepada rakyat. Terapi jangan diterapkan pada rakyat, tetapi pada penguasa.

Merajut tatanan politik yang substantif bagi kepentingan rakyat, adalah merupakan bagian tak terpisahkan bagi konfigurasi keterbukaan dan kualitas demokrasi negeri ini. Jadi, secara mendasar mengembalikan kepada sumber pelegitimasi kekuasaan (baca: kedaulatan rakyat), sesungguhnya mempunyai kohesivitas yang representatif, agar pembaharuan dan perubahan politik yang benar – benar menyentuh kepentingan rakyat secara kondusif makin terwujud.

Ini artinya, rakyat yang mempunyai kedaulatan kian tertahta dalam pergumulan kehidupan politik nasionalnya. Dengan demikian, percepatan kualitas demokratisasi memiliki implikasi yang mendasar terhadap pola kehidupan yang berdimensi politik, ekonomi dan juga sosial kultur.

Dalam tatanan politik yang demikian itu persenyawaannya amat krusial bagi pemberdayaan politik rakyat, sehingga rakyat tidak terpinggirkan lagi dalam pergaulan mekanisme kehidupan politik, disebabkan pemberdayaan politik rakyat tercipta.

Fenomena pemberdayaan politik rakyat semakin menarik dalam ruang lingkup perpolitikan kita. Namun, usianya tidak hanya sekedar sampai isu belaka, atau hanya terkesan sloganitas politik, tidak berlebihan bila kemauan politik elit penguasa merajut tatanan politik yang makin berkualitas semakin penting. Dalam istilah lain, pelonggaran-pelonggaran politik bagi emansipatoris partisipasi rakyat, niscaya derajat signifikansinya menjadi pertimbangan dalam dataran empirik kepolitikan Indonesia. Sebab, tanpa mau membuka secara leluasa bagi kepentingan partisipasi politik itu, relatif kecil aspirasi rakyat dapat tersalurkan.

Kunci utama dari kemauan politik, sudah seyogianya dibarengi dengan tindakan politiknya yang kapabel untuk mendukung ke arah pemberdayaan politik rakyat. Sebab tanpa dibarengi dengan tindakan politik, diskursus pemberdayaan politik rakyat, hanya merupakan lip service politik. Atau dalam bahasa Loekman Sutrisno “akan berhenti pada tingkat gimmic politik tanpa mempunyai makna bagi masyarakat ramai”.

Makna pemberdayaan politik rakyat, tiada lain agar rakyat makin menyadari atas segenap hak dan kewajiban politiknya. Rakyat tidak hanya menjadi sarana mobilisasi bagi kepentingan tertentu. Jadi, strategi pemberdayaan politik rakyat supaya benar-benar berjalan dengan normal dan manusiawi, maka secara niscaya dinamika dan sekaligus mekanisme kehidupan politik negeri ini harus senantiasa bercorak keterbukaan dan demokratis. Sehingga kaidah-kaidah demokrasi makin terasa dijunjung tinggi oleh segenap lapisan masyarakat.

Pementingan pemberdayaan politik rakyat itu setidak-tidaknya yang patut kita renungkan dan tindaklanjuti. Pertama, dimensi sosial politik yang demokratis, merupakan indikator yang harus senantiasa menjiwa. Pengetatan kehidupan politik patut dikurangi dalam kondisi dan perkembangannya menjadi konsideransi yang penting. Sebab, deregulasi politik mempunyai relevansi yang erat dan mendasar bagi pengakuan, penghormatan dan juga pengejawantahan hak dan kewajiban politik rakyat.

Centang perenang yang acapkali (kalau tidak selalu) merintangi kebebasan dan partisipasi politik rakyat, harus senantiasa makin mengendor. Dengan begitu tidak terlalu refresif atas segala aspirasi dan artikulasi politik rakyat.

Kedua, dimensi perbaikan kehidupan perekonomian yang bercorak pada kepentingan rakyat banyak, selalu menjadi kunci bagi peningkatan kehidupannya. Bukan sebaliknya, hanya mampu dimainkan oleh kelompok kecil tertentu.

Dengan demikian, fungsionalisasi demokratisasi politik dan ekonomi, niscaya harus diaktualisasikan dalam menopang dan menyangga perbaikan hidup rakyat. Rakyat sebagai penyangga maju mundurnya baik itu secara politik dan ekonomi, tidak bisa dilepaskan harus menjadi kiblat perbaikannya. Terutama dalam perekonomian yang hanya dikendalikan oleh beberapa orang amat rentan atas gejolak politik. Tentunya tidak mengharapkan adanya letupan-letupan politik yang tidak diduga-duga.

Di tengah masih adanya kesenjangan atau ketimpangan yang sangat memprihatinkan, yakni dominasi dan monopoli perekonomian pada tangan-tangan sebagian kecil rakyat (baca; konglomerat), juga mempunyai tali temali antara pengusaha dan penguasa (politik) yang dalam bahasa Amien Rais disebut “penguasaha”. Kilas baliknya, eksklusivisme politik dan ekonomi hanya nongkrong pada elit-elit itu saja, sedangkan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik rakyat semakin tercucuki.

Latar sebab itu, paling tidak karena politik perekonomian kita masih kurang serius merajut politik perekonomian yang berpihak pada rakyat banyak. Padahal, semestinya model politik perekonomian harus senantiasa berorientasi kepada perbaikan ekonomi rakyat.

Merenda politik perekonmian nasional secara niscaya selalu mencerminkan politik kemakmuran bagi rakyat agar rakyat makin terangkat derajat hidupnya. Politik perekonomian, pertimbangannya disandarkan bagi kemakmuran rakyat yang seadil-adilnya. Jadi, kekuatan-kekuatan sosial politik dan ekonomi, semestinya tetap berada pada bagian terbesar rakyat, bukan yang selama ini kita rasakan.

Oleh karena itu, diskursus demokratisasi di pelataran politik negeri ini mempunyai indikator kunci bagi pemberdayaan politik rakyat, sehingga rakyat yang mempunyai kedaulatan makin bertahta.*

*) Sumber: Tulisan ini dimuat di Merdeka, 26 Juni 1997

Tutup Iklan