"Quo Vadis" Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020
5/03/2020
PERGULATAN kehidupan politik negeri
ini, patut terus jadi perhatian, khususnya dalam penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah langsung oleh rakyat. Demokratisasi pemilihan kepala daerah
langsung oleh rakyat sudah berjalan sejak tahun 2005, dan kini di tahun 2020
ada 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak (yaitu: 9 Provinsi, 224
kabupaten, dan 37 kota).
Konsolidasi demokrasi dalam kehidupan politik lokal,
tentu saja merupakan bagian integral yang harus selalu dicermati dalam rangka
membingkai kehidupan yang sejahtera bagi rakyat banyak.
Baik pemilihan Gubernur – Wakil
Gubernur di 9 provinsi,
maupun pemilihan bupati – wakil bupati di 224 di kabupaten, dan 37 pemilihan
wali kota – wakil walikota pada tahun 2020 ini, harus secara
sadar dimaknai dalam menentukan proses demokrasi pemilihan pemimpin daerah, dan
sekaligus merancang bangun nasib pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Karena
itulah, pertama,
rakyat pemilih, secara
subyektif rasional sudah sepatutnya mengkritsi program – program yang
ditawarkan kandidat kepala daerah bersangkutan. Rakyat
pemilih dalam berpartisipasi itu tidak hanya asal “memilih”, tanpa mengindahkan
program – program yang ditawarkan
kandidat kepala daerah – wakil kepala daerah, namun, justru
harus jauh lebih dari sekedar memilih. Rakyat punya keyakinan dengan program –
program calon kepala daerah tersebut dapat dilaksanakan.
Rakyat pemilih, secara
sadar menentukan pilihan pimpinannya bukan karena “mobilisasi” atas dasar yang
tidak rasional, namun rakyat sebagai pemilik kedaulatan di daerahnya tentu saja
harus benar – benar berdasarkan keyakinannya atas program yang ditawarkan kandidat
calon kepala daerah tersebut, dapat dilaksanakan dikemudian hari.
Dengan
kata lain, rakyat pemilik kedaulatan (di daerahnya)
benar – benar menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan yang matang atas program –
program yang ditawarkan oleh kandidat kepala daerah – wakil kepala daerah, sehingga dapat
diimplementasikan.
Kedua,
kontekstual daerah menjadi basis agenda program potensial calon kepala daerah
yang mesti diaktualisasikan dengan kebijakan – kebijakan yang memang harus
berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Pembangunan – pembangunan di
daerah bukan atas pertimbangan “politik balas budi” kelompok – kelompok
tertentu, yang bisa merugikan masyarakat luas.
Kepala daerah terpilih,
sebagai pemimpin daerah harus “membawa” daerahnya berdaya bagi pembangunan dan
kesejahteraan masyarakatnya. Program – program yang dijanjikan saat kampanye,
bukan basa – basi atau “pepesan kosong” politik sekedar untuk memperoleh
kekuasaan, atau sekedar gimmic politics.
Kekuasaannya
yang diperoleh lewat pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat harus
menjadi fokus menjalankan program – programnya secara terukur dan membumi dalam
tatanan hidup dan kehidupan di daerahnya.
Memang, tantangan kepala
daerah terpilih dalam merealisasikan program – programnya, secara sadar atau
tidak, niscaya berhadapan
dengan kelompok – kelompok tertentu secara implisit “menagih janjinya” atas
jasa – jasa pemenangannya, dan
membangun sinergi serta meyakinkan lembaga parlemen (DPRD)
untuk mendapat persetujuan program – programnya dalam ruang legislatif
tersebut.
Ketiga,
tantangan lainnya,
baik itu kepala daerah terpilih yang diusung dan didukung oleh partai politik,
atau gabungan partai politik, maupun perseorangan, secara niscaya berhadapan
dengan kelompok – kelompok parpol (fraksi) di legislatif. Kepala daerah
terpilih memang tidak sederhana pula untuk begitu saja “lenggang kangkung”
program – program yang dijanjikannya saat kampanye dengan mudah dapat
direalisasikan atau mendapat pengesahan di runag legislatif. Program – program tersebut
harus pula diterjemahkan dalam bentuk kegiatan – kegiatan dalam menjalankan
pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Meyakinkan legislatif
menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudnyatakan program – program kepala daerah
tersebut.
Itu sebabnya, kekuasaan kepala
daerah yang diperolehnya melalui pemilihan langsung oleh rakyat, adalah merupakan
bagian integral yang harus dijalankan dengan benar dalam menjalankan
kekuasaannya. Kekuasaan
kepala daerah dalam merealisasikan program – programnya melalui kebijakan –
kebijakan pemerintahannya, disandarkan bagi pementingan kesejahteraan
masyarakat luas dalam segenap bidang. Tanpa itu, kekuasaan yang diperoleh
tersebut, hanya (apalagi) sekedar pertimbangan “bagi – bagi” kapling untuk baik
itu parpol pengusung atau pendukungnya, maupun parpol – parpol yang tidak
mengusungnya, termasuk juga bagi kelompok – kelompok tertentu yang “tidak
terlihat” kasat mata oleh publik.
Pemilihan pemimpin daerah secara demokratis oleh
rakyat, bukan hanya “lulus” secara prosedur minimalis secara demokratis. Namun
sejatinya harus jauh lebih dari itu, perwujudan dari demokrasi prosedural
tersebut membumi dalam demokrasi substantif penyelenggaraan pemerintahannya.
Dengan demikian, kualitas
kepemimpinan kepala daerah,
teruji atau sebaliknya, dapat dilihat dari konsistensinya atas program –
program yang dijanjikannya itu. Dan rakyat pemilih (khususnya) bukan hanya
sekedar partisipasi dalam pemlihan tersebut, akan tetapi justru partisipasi
selanjutnya adalah terus menerus memantau dan mengingatkan pemimpin daerah
tersebut dalam pelaksanaan pemerintahannya.*
Bandung, 28 Februari 2020