Parpol, Aktor Utama Pserta Pilkada
8/01/2017
SALAH satu fungsi
partai politik (parpol) secara niscaya adalah rekruitmen politik (kader partai)
untuk menjadi salah satunya (bakal) calon kepala daerah – wakil kepala daerah, dalam
(rangka) proses pengisian jabatan pimpinan daerah (pemerintahan) melalui proses
pemilihan secara demokratis.
Dalam konteks ini, parpol secara sadar sudah mulai melakukan proses
penjaringan bakal calon kepala daerah – wakil kepala daerah dalam Pilkada
Serentak tahun 2018. Pilkada Serentak tahun 2018 diselenggarakan pada 171
daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten) sudah di ambang pintu.
Dan parpol sebagai institusi demokrasi dalam penjaringannya sesuai dengan
mekanisme internal parpol masing – masing, yang bisa jadi setiap parpol
memiliki kekhasan (perbedaan) satu sama lain dalam rekruitmen bakal calon
kepala daerah – wakil kepala daerah. Persoalannya, sudahkah parpol menyiapkan
kader – kader (terbaiknya) dalam ikut serta bertarung secara demokratis dalam
pilkada
Parpol mempunyai tanggung jawab sebagai aktor utama
peserta pilkada menyiapkan kadernya untuk dipilih oleh rakyat di daerah masing
– masing. Mental untuk menyiapkan kadernya abai, berarti parpol tersebut gagal
dalam kaderisasi. Inilah tantangan bagi parpol untuk menyiapkan kader
terbaiknya.
Pilkada Serentak tahun 2018, merupakan arena demokratis dimana rakyat
pemilih menentukan alternatif pilihan kepala daerah – wakil kepala daerah,
untuk memimpin daerahnya. Karena itulah, parpol sudah sejatinya (untuk
mengembalikan citranya di mata publik) harus benar – benar “menyuguhkan” calon
kepala daerah yang mumpuni untuk mengembangkan, dan melaksanakan pemberdayaan
pembangunan masyarakat dan daerahnya ke arah yang baik seiring dengan
kontekstual daerahnya maisng – masing.
Dengan demikian, secara prinsip, setiap parpol dapat mengajukan pasangan
calon kepala daerah. Namun parpol yang punya hak untuk mengajukan pasangan
calon kepala daerah itu, demi tertib “aturan main” pun, atau prinsip keadilan
harus sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Pertama, parpol bisa
sendiri mengajukan pasangan calon kepala daerah bilamana memiliki kursi 20
persen di legislatif daerah (DPRD) atau 25 persen suara hasil pemilu. Kedua, gabungan parpol (baik yang
memiliki kursi di legislatif daerah maupun tidak memiliki kursi) mempunyai hak
untuk mengajukan pula pasangan calon kepala daerah dengan ketentuan minimal
tadi (20 persen kursi atau 25
persen suara hasil pemilu). Dengan demikian, dalam pemilihan kepala daerah,
institusi demokrasi yang mempunyai hak dan kewajiban mengajukan pasangan calon
kepala daerah – wakil kepala daerah, adalah parpol.
Menyimak fungsi parpol yaitu merekrut calon pemimpin daerah, mestinya ini
menjadi bagian integral parpol jauh – jauh hari menyiapkan kadernya untuk
bertarung dalam pilkada serentak. Sehingga, tidak ada alasan parpol tidak bisa
menyiapkan kadernya, kalau memang parpol tersebut secara sungguh – sungguh
melakukan kaderisasinya secara baik dan benar. Kenapa demikian?
Pertama, kalau kita
tengok pada Pilkada Serentak tahun 2015 dan 2017, banyak
daerah, hanya ada satu pasangan calon (calon tunggal). Dalam Pilkada
Serentak 2015 dari 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada, 13 daerah hanya
ada satu pasangan calon. Dan selanjutnya, KPU saat itu memperpajang masa
pendaftaran untuk 13 daerah tersebut, kendati hasilnya dari 13 daerah yang masa
pendaftarannya diperpanjang, hanya 6 daerah saja ada yang melakukan pendaftaran
pasangan calon, dan sisanya 7 daerah masih tetap calon tunggal. Begitu pun di Pilkada Serentak 2017, dari
101 daerah, 9 (Sembilan) daerah, hanya memiliki calon tunggal.
Dari fakta tersebut, kondisi ini, diakui atau tidak, ada semacam hegemoni
atau semacam “konspirasi politik” parpol, yang secara sengaja, sehingga rakyat
pemilik kedaulatan di daerah tidak diberi kebebasan alternatif pilihan untuk
menentukan pemimpin daerahnya.
Kedua, parpol
sebagai institusi demokrasi yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah,
dengan sadar “tidak ikut” partisipasi dalam menyiapkan kadernya untuk bertarung
dalam pilkada tersebut. Ini ironis, dengan menggebu – gebunya parpol berjuang
untuk memperoleh kekuasaan politik, akan tetapi dalam pilkada tidak ikut serta
mengajukan calon kepala daerah (baca: mengusung sendiri atau gabungan parpol).
Dalam bahasa lain, parpol – parpol itu, diakui atau tidak, tidak siap bersaing
atau kompetisi dalam pilkada serentak (2015 dan 2017) dengan beragam macam
alasanya, seperti antara lain karena incumbent
(petahana) misalnya, yang diasumsikan sangat kuat, dan tidak mempunyai
kader yang mumpuni untuk memimpin daerah, serta juga argumen – argumen
irasional lainnya pula.
Dengan demikian, calon tuggal dalam pilkada serentak, bukan merupakan hal
yang menggembirakan bagi kehidupan sirkulasi pemilihan pasangan kepala daerah –
wakil kepala daerah secara demokratis. Justru diakui atau tidak diakui, parpol
memperkosa hak – hak politik rakyat untuk menentukan pilihannya dalam memlih
pasangan kepala daerah – wakil kepala daerah tersebut. Sebab, rakyat yang sudah
memiliki hak pilih dan mempunyai kebebasan untuk menentukan pemimpin daerahnya
terkerangkeng dengan disuguhkan calon tunggal.
Dari titik simpul persoalan itulah, maka untuk Pilkada Serentak tahun
2018 yang diikuti 171 daerah, sekali lagi bahwa parpol sebagai institusi yang
berhak mengajukan pasangan calon tersebut, merupakan momentum mengembalikan
citra (kepercayaan) parpol di mata publik dengan menyuguhkan pasangan calon
kepala daerah – wakil kepala daerahnya yang mumpuni dalam mengelola kehidupan
pemerintahan dan pembangunan daerah serta memberdaykan masyarakatnya dengan
program – program yang rasional komprehensif dapat dilaksanakan.
Itu sebabnya, belajar ambil hikmah dari pilkada serentak sebelumnya,
tampaknya pilkada serentak tahun 2018 bagi parpol – parpol sebagai aktor utama
peserta pilkada, harus menyiapkan dan menyediakan pasangan calon kepala daerah
– wakil kepala daerah yang menjadi alternatif pilihan masyarakat di daerahnya
masing – masing. Bukan sebaliknya, pilkada serentak di banyak daerah yang
pasangan calonnya tunggul. Kalau ini yang terjadi di Pilkada Serentak 2018,
berarti inilah merupakan potret fungsi parpol dalam rekruitmen politik
(pemimpin) sebagai kegagalan kaderisasi menyiapkan kader – kader (politik)
pemimpin untuk jabatan kepala daerah. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada
alasan bagi parpol atau gabungan parpol tidak menyiapkan kader – kadernya untuk
bersaing dalam pilkada serentak.*
Silahudin, Pemerhati Sosial Politik