Langsung ke konten utama

84 Persen Anak Alami Kekerasan di Sekolah




Pemerintah akan membentuk tim penanggulangan independen.

TANGERANG SELATAN - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengungkapkan, sebanyak 84 persen peserta didik pernah mengalami kekerasan di sekolah. Hal ini diungkapkan berdasarkan data The International and International Center for Research on Women (ICRW) pada 2015.
"Jumlah tersebut bukan berarti siswa selalu mengalami kekerasan di sekolah, tapi pernah sekali atau dua kali selama 12 tahun belajar," kata Anies saat peluncuran Sekolah Aman Antikekerasan di Lingkungan Sekolah, di SMA Negeri 8, Tangerang Selatan, Senin (25/1).
Kemendikbud membuat program Sekolah Aman Antikekerasan di Lingkungan Pendidikan. Program ini diluncurkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permen-dikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindakan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Pihaknya mendorong pemerintah daerah untuk membentuk tim ad hoc penanggulangan kekerasan peserta didik yang independen. Tindakan awal tersebut juga perlu berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.

Anies menerangkan, tim ini nantinya melibatkan tokoh masyarakat, pemerhati pendidikan, dan psikolog. "Pemerintah daerah juga wajib memantau dan membantu upaya penanggulangan tindak kekerasan oleh sekolah," ujarnya.
Pemerintah juga akan membentuk tim penanggulangan independen terhadap kasus yang menimbulkan luka atau kematian. Tim ini akan mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan penanggulangan oleh sekolah dan Pemda. Selanjutnya, kata Anies, mereka juga harus memastikan sekolah menindaklanjuti hasil pengawasan dan evaluasinya.
Pada tingkat sekolah, guru wajib melaporkan kepada orang tua setiap terjadinya kekerasan pada anak. "Sekolah juga perlu lapor ke kepala Dinas Pendidikan dan aparat hukum terhadap perilaku kekerasan yang mengakibatkan luka fisik, cacat, atau kematian," kata Anies.
Selain itu, Anies menyatakan, sekolah juga harus menjamin hak siswa mendapatkan pendidikan. Dengan kata lain, siswa tidak boleh dikeluarkan, tapi dibina jika melakukan tindakan kekerasan. Untuk siswa yang terkena tindakan kekerasan, lanjut dia, mereka juga harus mendapatkan jaminan perlindungan.

Anies menjelaskan, pencegahan tindakan kekerasan ini mencakup pelecehan, perundungan (.bullying), penganiayaan, perkelahiaan, dan tawuran. Kemudian, perlu mengatasi pula tindakan perpeloncoan, pemerasan, pencabulan, pemerkosaan, dan kekerasan berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta kekerasan lainnya yang diatur undang-undang.
Program ini menandakan bahwa memang perlu sinergi antara sekolah, pemerintah daerah, dan Kemendikbud. Sejumlah pihak memiliki tugas dalam penanggulangan, tataran pemberian sanksi, dan pencegahan tindakan kekerasan.
Ketua Dewan Konsultatif Nasional Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi menyatakan, kekerasan anak terutama di lingkungan sekolah sangat tinggi. "Ini tanda perundungan semakin subur di Indonesia," ujarnya.
Yang lebih memprihatinkan lagi, kekerasan ini sudah mencapai tingkat sekolah terkecil, yakni taman kanak-kanak (TK).
Kak Seto juga menyatakan temuan salah satu mahasiswanya terkait kekerasan pada siswa sgkolah dasar (SD) di Jawa Barat. Temuan tersebut menyebutkan, sebanyak 60 hingga 70 persen anak SD Jawa Barat mengalami perundungan. Kasus ini menandakan sekolah masih jauh dari rasa aman bagi anak. Hal ini juga mengganggu pendidikan. ed erdy nasru!
WILDAFIZRIYANI
Sumber: Republika, 26/1/2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...