Tak Jenguk Kekuasaan
6/14/2014
HARU BIRU Pemilihan
Presiden (Pilpres) 2014 ini, sesungguhnya tidak bisa dihindari dari tidak
adanya partai politik (parpol) pemenang pemilu secara mayoritas mutlak. Suara
pemilih terfragmentasi, sehingga menyisihkan persoalan yang tidak bisa
dihindari untuk mengusung pencapresan harus melakukan koalisi parpol.
Oleh karena itu, menyimak hasil
Pileg 9 April 2014 yang telah diketok KPU, baik parpol-parppol yang lolos parliament threshold 3,5 persen
perolehan suara nasional, maupun parpol-parpol yang tidak lolos ke parlemen
(PBB dan PKPI). Parpol pemenang pertama PDI Perjuangan, kedua partai Golkar,
dan ketiga Partai Gerinda. Sedang posisi ke 4 – 10 masing-masing diisi oleh
partai Demokrat, PKB, PAN, Partai nasdem, PKS, PPP dan Partai Hanura.
Keniscayaan kerjasama politik atau
koalisi sudah tidak bisa dielakkan. Ini artinya, bahwa kepolitikan nasional di
era reformasi ini (sudah) harus diterima adanya koalisi dalam sistem
pemerintahan presidential dengan multi partainya.
Memang, acapkali jadi pertanyaan,
model kooalisi seperti apa yang mau dibangun? Ada kehendak koalisi ramping, dan
ada juga kehendak koalisi gemuk.
Di samping itu, sejatinya koalisi
disandarkan pada kesamaan atau paling tidak kemiripan ideologi, kesamaan visi –
misi dan platform. Agar mekanisme penyelenggaraan roda pemerintahan jalan
dengan efektif dalam jalankan program-programnya.
Mungkin juga koalisi yang dirajut di
“belakang meja” dengan tetap “main mata” jabatan-jabatan politis. “Ah itu panggung depan dan panggung
belakang politik tak selalu sama,” kata teman sambil minum kopinya.
Untuk menggenapkan syarat
pencapresan bagian dari taat asas aturan. Tapi betulkah parpol-parpol yang
gabungkan dirinya siap taat dalam jalankan kebersamaannya tanpa “ganggu’ roda
pemerintahan. Entahlah! Kata teman lagi, “Aksioma politik koalisi, adalah
bargaining politik yang tidak bisa ditutupi,
kendati tidak tampak kepermukaan.”
Koalisi atau apapun istilahnya di
antara parpol-parpol itu dalam menggadang pencapresan, intinya sesungguhnya
bagaimana pertarungan Pilpres dimenangkan. Itu sesungguhnya yang ada dalam
lubuk bathin yang dalam.
“Rakyat memang harus selalu siap
“diatasnamakan” dalam tarung-tarung seperti pileg apalagi pilpres. Toh memang seperti itulah “hukum tidak
tertulisnya,” seloroh teman.
Semangat merajut Republik ini,
sejatinya disandarkan pada ‘keadilan sosial’, kesenjangan yang memang domplang,
entah itu aspek pembangunan territorial, pendidikan yang tidak merata, ekonomi
yang juga senjang karena dominasi pertumbuhan berada pada kelompok kecil
masyarakat, hukum yang masih tajam ke bahwa dan tumpul ke atas, dan interaksi
sosial budaya yang eksklusif.
Itu semua sejatinya menjadi
keseriusan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden terpilih. Presiden terpilih
bukan hanya jenguk kekuasaan dengan ambisi-ambisi yang tersembunyi. Sementara
rakyat yang telah menitipkan kekuasaannya pada pemerintahan, hidup dan
kehidupannya masih jauh dari sejahtera.
Tak jenguk kekuasaan, semoga saja
bukan isapan jempol, tetapi jadi realitas politik demi mengejar kepentingan
bersama (bonnum commune).
Ditulis,
16 Mei 2014