Menyoroti Calon Perseorangan Kepala Daerah
7/17/2013
Oleh Silahudin
SEMUA warga negara
secara konstitusional di samping punya
hak untuk memilih, juga tak ketinggalan punya hak untuk dipilih. Oleh karena
itu, pemilihan kepala daerah, baik untuk tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota, dewasa ini di samping yang diajukan oleh partai politik, dapat
pula calon pasangan kepala daerah – wakil kepala daerah itu melalui jalur
independen (perseorangan) dengan syarat yang telah diitentukan oleh peraturan
perundang-undangan.
Munculnya calon perseorangan dalam
pemilukada langsung, memang merupakan konsekuensi hukum atas putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 5/PUU-V/207 tanggal 23 Juli 2007 yang me- judicial review UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terkait dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal
59 ayat (1, 2 dan 3), yang semula bahwa pencalonan pasangan kepala daerah itu
“monopoli” partai politik atau gabungan partai politik. Maka sejak putusan MK
tersebut, pintu masuk pasangan calon kepala daerah tidak hanya melalui partai
politik atau gabungan partai politik, akan tetapi dapat melalui jalur
perseorangan sebagai hak konstitusional warga negara.
Pasca diakomodirnya calon
perseorangan dalam pemilukada langsung, gairah untuk itu cukup berarti, bahkan
untuk beberapa daerah yang menyelenggarakan pemilukada langsung dan diikuti
oleh calon perseorangan untuk pertama kalinya mendulang kemenangan. Kabupaten
Garut tahun 2008, dimenangkan oleh pasangann calon perseorangan Aceng Fikri –
Dicky Chaandra dengan menang mutlak 55,8 persen; Kabupaten Kubu Raya (Kalimantan Barat) tahun
2009, pasangan Mahendrawan – Andreas Muhrotien memenangkan pemilukada 19
Desember 2009 dan mengalahkan pasangan yang diusung partai politik.
Memang, belum banyak yang
memenangkan pemilukada langsung dari calon perseorangan, bahkan terseok-seok
perolehan suaranya. Pada titik persoalan ini, catatan kecil ini ingin menyoroti
calon perseorangan dari perspektif dukungan yang dibuktikan oleh foto copy Kartu
Tanda Penduduk (KTP). Apakah memang betul-betul dukungan murni atau riil? Lalu
bagaimana realitasnya pada hari pencoblosan dan penghitungan perolehan suaranya
tersebut? Apakah mendulang suara paling tidak sama dengan jumlah dukungan
pencalonannya?
Pemilihan kepala daerah yang
sebelumnya dilaksanakan di ruang legislatif, dewasa ini sejak diberlakukannya
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pemilihan kepala
daerah, baik itu untuk Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih langsung oleh rakyat
daerah bersangkutan. Begitupun setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi
dengan diperbolehkannya calon perseorangan, tentu saja memberi warna tersendiri
dalam persaingan pemilihan kepala daerah yang tidak hanya pasangan calon dari
partai politik saja.
Pasangan calon perseorangan
merupakan bagian integral dalam pergulatan kehidupan politik dan demokrasi
lokal, dalam mana pelaksanaannya tidak berarti “lenggang kangkung”, artinya,
bukan tanpa persyaratan administratif, kendati itu cukup berat, karena harus
mengumpulkan bentuk dukungannya berupa foto copy KTP (baca: tidak double dukungan). Ketentuan ini,
merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari atau diabaikan oleh calon
perseorangan. Oleh karena, hal itupun, untuk menghindari perilaku ketidakadilan
politik bagi partai politik yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah
dibutuhkan suara minimal partai politik atau gabungan partai politik sebesar 15
persen.
Seiring dengan dukungan pasangan calon kepala daerah dari unsur
perseorangan, di sini akan digambarkan beberapa dukungan untuk calon
perseorangan yang belum lama ini menyelenggarakan pemilukadanya.
Di bawah ini dapat disimak jumlah dukungan calon perseorangan yang
dibuktikan dengan foto copy KTP di antaranya di DKI Jakarta dalam Pilgub 2012 dan
di Jawa Barat yang berbarenngan dengan Pilgub Jabar tahun 2013.
Perbandingan Jumlah Dukungan dan Perolehan Suara Calon
Perseorangan
No
|
Nama Calon
Perseorangan
|
Jumlah dukungan
|
Jumlah Perolehan
Suara
|
Daerah
|
Tahun
|
1
|
Hendardji
Soepandji – Ahmad Riza Patria
|
597.798
|
85.990
|
DKI Jakarta
|
2012
|
2
|
Faisal Basri –
Biem Benjamin
|
455.097
|
215.935
|
DKI Jakarta
|
2012
|
3
|
Dikdik MA Mansur
– Cecep NS Toyib
|
1.521.584
|
359.233
|
Provinsi Jawa
Barat
|
2013
|
4
|
Eni Sumarni – Arrys
Sudradjat
|
48.465
|
376
|
Kab. Sumedang
|
2013
|
5
|
Ecek Karyana
– Irwanto
|
45.950
|
386
|
Kab. Sumedang
|
2013
|
6
|
Oom Supriatna
– Erni Juwita
|
46.090
|
48
|
Kab. Sumedang
|
2013
|
Diolah dari berbagai sumber
Gambaran dukungan pasangan calon
perseorangan yang lolos verifikasi dari persyaratan minimal itu, merupakan
modal awal dukungan suara bagi mereka masing-masing di daerah yang
menyelenggarakan pemilukada, seperti pemilukada Gubernur DKI Jakarta tahun 2012
yang diikuti oleh dua pasangan calon perseorangan, dan Pemilukada Gubernur Provinsi Jawa Barat
tahun 2013 yang juga diikuti oleh satu pasangan calon perseorangan, serta
Kabupaten Sumedang yang dikuti tiga pasangan calon perseorangan dengan jumlah
dukungannya masing-masing.
Pertanyaannya, apakah dukungan
tersebut merupakan dukungan nyata yang memang masyarakat menghendaki pasangan
calon perseorangan (bukan dari parpol)? Bila memang merupakan dukungan murni
terhadap pasangan calon perseorangan itu, berarti asumsi sederhana setidaknya
sudah memiliki suara sejumlah dukungan persyaratan tersebut bagi pasangan calon
perseorangan.
Namun, faktanya antara jumlah
dukungan minimal untuk maju menjadi pasangan calon perseorangan kepala daerah –
wakil kepala daerah, masih terseok-seok dalam pemilukada gubernur DKI Jakarta
tahun 2012 dan Pemilukada Gubernur Jawa Barat tahun 2013 serta pemilukada
Bupati – Wakil Bupati Kabupaten Sumedang tahun 2013 (lihat tabel di atas).
Dalam bahasa lain, antara jumlah dukungan untuk
maju sebagai pasangan calon perseorangan dengan jumlah perolehan
suaranya, justru domplang.
Perolehan suara pasangan calon perseorangan sebagaimana terlihat pada tabel
di atas justru rata-rata di bawah 10 persen (tepatnya 4,86%). Ini indikasi apa,
ko sangat domplang pasangan calon
perseorangan itu dalam mendulang suaranya, sementara persyaratan minimal yang
diatur oleh perundang-undangan yang berlaku untuk pasangan calon perseorangan
itu secara administratif terpenuhi?
Sejatinya, jumlah dukungan dengan perolehan suara pasangan calon
perseorangan itu, sebanding lurus, akan tetapi kenyataannya, justru sangat jauh
dari harapan minimal tersebut.
Dari semua pasangan calon perseorangan tersebut, tidak ada satupun yang
mendulang suara secara signifikan, justru yang terjadi sangat timpang alias
“jauh panggang api”.
Artinya, antara dukungan dengan perolehan suaranya tidak
menunjukkan relevansi. Kenyataan tersebut, tentunya bukan berarti dimaksudkan
untuk melemahkan semangat demokratisasi politik lokal dengan diakomodirnya
calon perseorangan itu. Akan tetapi, secara niscaya menjadi pencarian kita dalam
proses mendapat dukungan tersebut, apakah memang benar-benar dukungan itu riil atau
justru dengan “pat gulipat” cara
mendapatkannya. Wallohu ‘alam!**
*Penulis, Pemerhati Sosial Politik