HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Menyoroti Calon Perseorangan Kepala Daerah





Oleh Silahudin 

SEMUA warga negara secara  konstitusional di samping punya hak untuk memilih, juga tak ketinggalan punya hak untuk dipilih. Oleh karena itu, pemilihan kepala daerah, baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dewasa ini di samping yang diajukan oleh partai politik, dapat pula calon pasangan kepala daerah – wakil kepala daerah itu melalui jalur independen (perseorangan) dengan syarat yang telah diitentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Munculnya calon perseorangan dalam pemilukada langsung, memang merupakan konsekuensi hukum atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/207 tanggal 23 Juli 2007 yang me- judicial review  UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terkait dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1, 2 dan 3), yang semula bahwa pencalonan pasangan kepala daerah itu “monopoli” partai politik atau gabungan partai politik. Maka sejak putusan MK tersebut, pintu masuk pasangan calon kepala daerah tidak hanya melalui partai politik atau gabungan partai politik, akan tetapi dapat melalui jalur perseorangan sebagai hak konstitusional warga negara.

Pasca diakomodirnya calon perseorangan dalam pemilukada langsung, gairah untuk itu cukup berarti, bahkan untuk beberapa daerah yang menyelenggarakan pemilukada langsung dan diikuti oleh calon perseorangan untuk pertama kalinya mendulang kemenangan. Kabupaten Garut tahun 2008, dimenangkan oleh pasangann calon perseorangan Aceng Fikri – Dicky Chaandra dengan menang mutlak 55,8 persen;  Kabupaten Kubu Raya (Kalimantan Barat) tahun 2009, pasangan Mahendrawan – Andreas Muhrotien memenangkan pemilukada 19 Desember 2009 dan mengalahkan pasangan yang diusung partai politik.

Memang, belum banyak yang memenangkan pemilukada langsung dari calon perseorangan, bahkan terseok-seok perolehan suaranya. Pada titik persoalan ini, catatan kecil ini ingin menyoroti calon perseorangan dari perspektif dukungan yang dibuktikan oleh foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP). Apakah memang betul-betul dukungan murni atau riil? Lalu bagaimana realitasnya pada hari pencoblosan dan penghitungan perolehan suaranya tersebut? Apakah mendulang suara paling tidak sama dengan jumlah dukungan pencalonannya?

Pemilihan kepala daerah yang sebelumnya dilaksanakan di ruang legislatif, dewasa ini sejak diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pemilihan kepala daerah, baik itu untuk Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih langsung oleh rakyat daerah bersangkutan. Begitupun setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi dengan diperbolehkannya calon perseorangan, tentu saja memberi warna tersendiri dalam persaingan pemilihan kepala daerah yang tidak hanya pasangan calon dari partai politik saja.

Pasangan calon perseorangan merupakan bagian integral dalam pergulatan kehidupan politik dan demokrasi lokal, dalam mana pelaksanaannya tidak berarti “lenggang kangkung”, artinya, bukan tanpa persyaratan administratif, kendati itu cukup berat, karena harus mengumpulkan bentuk dukungannya berupa foto copy KTP (baca: tidak double dukungan). Ketentuan ini, merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari atau diabaikan oleh calon perseorangan. Oleh karena, hal itupun, untuk menghindari perilaku ketidakadilan politik bagi partai politik yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah dibutuhkan suara minimal partai politik atau gabungan partai politik sebesar 15 persen.

Seiring dengan dukungan pasangan calon kepala daerah dari unsur perseorangan, di sini akan digambarkan beberapa dukungan untuk calon perseorangan yang belum lama ini menyelenggarakan pemilukadanya.

Di bawah ini dapat disimak jumlah dukungan calon perseorangan yang dibuktikan dengan foto copy KTP di antaranya di DKI Jakarta dalam Pilgub 2012 dan di Jawa Barat yang berbarenngan dengan Pilgub Jabar tahun 2013.

Perbandingan Jumlah Dukungan dan Perolehan Suara Calon Perseorangan

No
Nama Calon Perseorangan
Jumlah dukungan
Jumlah Perolehan Suara
Daerah
Tahun
1
Hendardji Soepandji – Ahmad Riza Patria
597.798
85.990
DKI Jakarta
2012
2
Faisal Basri – Biem Benjamin
455.097
215.935
DKI Jakarta
2012
3
Dikdik MA Mansur – Cecep NS Toyib

1.521.584
359.233 

Provinsi Jawa Barat
2013
4
Eni Sumarni – Arrys Sudradjat
48.465
376
Kab. Sumedang
2013
5
Ecek Karyana – Irwanto
45.950
386
Kab. Sumedang
2013
6
Oom Supriatna – Erni Juwita
46.090
48
Kab. Sumedang
2013
    Diolah dari berbagai sumber 

Gambaran dukungan pasangan calon perseorangan yang lolos verifikasi dari persyaratan minimal itu, merupakan modal awal dukungan suara bagi mereka masing-masing di daerah yang menyelenggarakan pemilukada, seperti pemilukada Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 yang diikuti oleh dua pasangan calon perseorangan,  dan Pemilukada Gubernur Provinsi Jawa Barat tahun 2013 yang juga diikuti oleh satu pasangan calon perseorangan, serta Kabupaten Sumedang yang dikuti tiga pasangan calon perseorangan dengan jumlah dukungannya masing-masing.

Pertanyaannya, apakah dukungan tersebut merupakan dukungan nyata yang memang masyarakat menghendaki pasangan calon perseorangan (bukan dari parpol)? Bila memang merupakan dukungan murni terhadap pasangan calon perseorangan itu, berarti asumsi sederhana setidaknya sudah memiliki suara sejumlah dukungan persyaratan tersebut bagi pasangan calon perseorangan.

Namun, faktanya antara jumlah dukungan minimal untuk maju menjadi pasangan calon perseorangan kepala daerah – wakil kepala daerah, masih terseok-seok dalam pemilukada gubernur DKI Jakarta tahun 2012 dan Pemilukada Gubernur Jawa Barat tahun 2013 serta pemilukada Bupati – Wakil Bupati Kabupaten Sumedang tahun 2013 (lihat tabel di atas). Dalam bahasa lain, antara jumlah dukungan untuk  maju sebagai pasangan calon perseorangan dengan jumlah perolehan suaranya, justru domplang.

Perolehan suara pasangan calon perseorangan sebagaimana terlihat pada tabel di atas justru rata-rata di bawah 10 persen (tepatnya 4,86%). Ini indikasi apa, ko sangat domplang pasangan calon perseorangan itu dalam mendulang suaranya, sementara persyaratan minimal yang diatur oleh perundang-undangan yang berlaku untuk pasangan calon perseorangan itu secara administratif terpenuhi?

Sejatinya, jumlah dukungan dengan perolehan suara pasangan calon perseorangan itu, sebanding lurus, akan tetapi kenyataannya, justru sangat jauh dari harapan minimal tersebut.

Dari semua pasangan calon perseorangan tersebut, tidak ada satupun yang mendulang suara secara signifikan, justru yang terjadi sangat timpang alias “jauh panggang api”. 

Artinya, antara dukungan dengan perolehan suaranya tidak menunjukkan relevansi. Kenyataan tersebut, tentunya bukan berarti dimaksudkan untuk melemahkan semangat demokratisasi politik lokal dengan diakomodirnya calon perseorangan itu. Akan tetapi, secara niscaya menjadi pencarian kita dalam proses mendapat dukungan tersebut, apakah memang benar-benar dukungan itu riil atau justru dengan “pat gulipat” cara mendapatkannya. Wallohu ‘alam!**

*Penulis, Pemerhati Sosial Politik



Tutup Iklan