Pemilukada Langsung, Demokrasi Minimalis?
Oleh Silahudin
PEMILUKADA langsung sebagai amanat konstitusi, tentu saja
tidak dapat dilepaskan dari proses penguatan demokrasi lokal dalam mendukung
hakikat tujuan otonomi daerah. Otonomi daerah, merupakan implikasi adanya
desentralisasi (politik) sebagai pengejawantahan proses demokratisasi di
tingkat lokal. Karena dengan desentralisasi politik diyakini merupakan upaya
untuk memperkuat proses pengambilan keputusan oleh masyarakat lokal dalam
mengatur kepentingannya sendiri.
Bila ditengok dari perspektif historis, pasang naik dan
pasang surut pemilihan kepala daerah, telah menunjukkan dinamikanya
masing-masing dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lahirnya UU No. 22
tahun 1999, yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004, merupakan entry
point perubahan yang mendasar dalam persoalan kewenangan yang
diberikan kepada daerah, dibandingkan dengan UU No. 5 Tahun 1974.
Pemilukada langsung, memiliki peran yang sangat strategis
dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi lokal, keadilan, pemerataan,
kesejahteraan rakyat, dan sekaligus memelihara keutuhan dan hubungan yang
serasi dan harmonis antara pemerintah dengan rakyat, Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Pusat.
Tahun 2005, merupakan tonggak sejarah Pilkada langsung. Dalam pelaksanaannya,
memang masih menunjukkan
kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Bahkan ada anggapan
membebani APBD.
Selain itu, Pilkada
langsung masih didominasi
kelompok elit tertentu melalui oligarki politik, sehingga menjadi perwujudan
demokrasi semu. Proses politik sebagai suatu penguatan masyarakat lokal masih
belum terjadi, bahkan lebih jauh dari itu konflik-konflik horisontal yang
mengarah kepada anarkisme justru acapkali terjadi.
Walaupun, masih banyak kekurangan dan kelemahan
terhadap Pilkada langsung menjadi pertimbangan dalam keleluasan rakyat berpartisipasi dalam menentukan
figur pimpinan yang layak untuk memimpin daerahnya. Hal ini, memberi warna
tersendiri dalam kehidupan politik dan pembelajaran demokrasi masyarakat di
daerah-daerah yang menyelenggarakan Pilkada langsung.
Kalau kita mau menengok ke belakang, memang, fakta yang unik di dalam
penyelenggaraan Pilkada langsung, justru ditandai dengan rendahnya partisipasi
politik (rata-rata yang menggunakan hak pilihnya antara 60 persen hingga
70 persen)
Partisipasi rakyat, sesungguhnya bukan merupakan variabel independen yang berdiri sendiri.
Namun justru dipengaruhi pula
oleh faktor-faktor lain, seperti sikap apatis, pasif dan bahkan pragmatis
dengan alasan bahwa milih tidak milih, tidak mempengaruhi keadaan hidupnya.
Pilkada langsung, bukan
sekadar memperebutkan kursi kepala daerah, yang tidak memiliki implikasi
terhadap kesejahteraan masyarakat, justru harusm enjadi tantangan dalam
memelihara demokrasi untuk kesejahteraan rakyat.
Merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi (seperti partai
politik, parlemen dan pemerintah), memiliki alasan yang kuat.
Yakni karena kader-kader parpol kerapk mengecewakan masyarakat. Realitas
tersebut, tentu saja tidaak menjadi “pembiaran”, justru
menjadi tantangan parpol sebagai institusi yang menggodog kader-kadernya yang
berkualitas.
Agar rakyat tidak melakukan tindakan “penghukuman” dengan
tidak menggunakan hak pilihnya, sejatinya tidak menjadi pembiaran politik semua pemangku
kepentingan, justru harus mencari solusi dengan memberi keyakinan
“garansi-garansi” politik dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tidak
hanya sekadar gugur kewajiban dalam berdemokrasi.*
(dimuat di Inilah Koran, 27
November 2011)