Menyoal Energi Bangsa
3/11/2012
Silahudin |
Oleh Silahudin
ROBOHNYA rezim Soeharto pada bulan Mei
1998, tampak belum membawa pada penyelenggaraan kehidupan politik negara bangsa
yang kondusif. Salah guna pemerintahan dalam menata tatanan negara bangsa ini,
terutama tata pemerintahan yang baik (good
governance) masih jauh dari harapan, bahkan yang dirasakan dan menjadi
tontonan justru akrobatik politik elit politik dalam memperebutkan kekuasaan.
Kenyataan
dalam kehidupan politik negara bangsa dengan membangun Indonesia yang
demokratis, acapkaki terjebak egoisme politik masing-masing. Dalam bahasa lain, politik mengurus “dapur
sendiri” terus-menerus menonjol menjadi tontonan di negeri ini. Sehingga
keberadaannya pada lembaga-lembaga negara, baik di eksekutif, legislatif dan
yudikatif belum menyentuh kepentingan publik, namun yang mencolok mereka elit
politik “sibuk” melayani diri sendiri untuk kepentingan kelompoknya.
Propaganda
politik untuk memertahankan akses-akses kekuasaannya, telah menggeser harapan
publik, oleh karena kepastian kehidupan sosial politik, ekonomi dan hukum hanya
terpayungi oleh wacana, namun miskin dalam tindak realitasnya. Pada titik
simpul ini, kemanakah energi kolektif bangsa ini, atau memang energi kolektif
bangsa ini dihambur-hamburkan hanya untuk saling menyelamatkan kepentingan
kelompoknya masing-masing?
***
POLA
pembangunan yang telah dipraktekkan selama ini, tampaknya masih jauh dari
keinginan mengangkat derajat kemanusiaan, oleh karena memang mengorbankan
aspirasi dan partisipasi politik rakyat yang berefek lanjutan pada peradaban
politik yang tidak demokratis-mensejahterakan.
Pembangunan
dengan mengedepankan emansipatoris partisipasi politik rakyat, secara niscaya
patut menjadi konsideransi yang signifikan. Rakyat tidak diasingkan dalam
penggodogan pembangunan, melainkan terlibat agar rakyat sendiri merasa memiliki
dan bertanggungjawab terhadap kepentingan pembangunan.
Dengan
perkataan lain, politik keadilan dan pemerataan (bukan semata-mata pertumbuhan)
sebagai kiblat pembangunan harus
mendapat focus of interest yang
diprioritaskan. Tanpa merujuk arti penting politik keadilan dan pemerataan,
secara niscaya pergualan kehidupan politik negara bangsa yang diskriminatif dan
sekaligus eksklusif akan senantiasa terulang kembali. Untuk itulah, harus
menjadi kesepahaman kita sebagai bangsa bahwa ketimpangan dan kesenjangan
ternyata telah membawa efek pada sendi-sendi kehidupan negara bangsa ini retak.
Konflik
elit dengan elit dan konflik elit penguasa dengan rakyat serta konflik rakyat
dengan rakyat, tampaknya membutuhkan penyelesaian yang arif. Dalam arti
membedah persoalan dan perwujudan solidaritas sosial dan sebangsa sebagai
energi kolektif bangsa tak ayal lagi adanya kehendak yang diubah untuk
membangun kehidupan politik yang adil dan kepentingan tata pemerintahan yang
baik.
Negara
sebagai instrumen kolektif sejatinya membangun “proyek pembangunan” untuk
kepentingan semua lapisan rakyat dalam wilayah negara ini. Bukan sebalikya,
negara ini hanya dijadikan “instrument” untuk memberi keistimewaan sekelompok
kecil atau teritorial daerah tertentu. Kiblat pembangunan yang berwajah
keadilan sosial dan keadilan teritorial daerah merupakan landasan integral
dalam menumbuhkembangkan solidaritas nasional, sehingga keutuhan negara bangsa
menjadi urgen untuk dipertahankan.
Dalam
arti, penataan kembali “pembauran” sosial politik, ekonomi dan sosial budaya
menjadi krusial sebagai modal dasar pembangunan. Karenanya jauh-jauh hari DR.
Soejatmiko telah mengingatkan kita bahwa, manusia Indonesia juga memerlukan
kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial, solidaritas nasional
dan yang meliputi ummat manusia seluruhnya, termasuk golongan-golongan yang
lemah dan miskin dan generasi-generasi yang akan datang.
Dengan
demikian, sangat relevan mempertanyakan kembali, kemanakah energi kolektif
bangsa ini, sehingga persoalan yang menimpa negara bangsa ini masih belum
terselesaikan? Ataukah memang enegri-energi tersebut dihambur-hamburkan untuk
saling sikut menyalahkan antar elit politik dan menyelamatkan kepentingan
kelompoknya masing-masing, sehingga kepentingan negara bangsa yang dibangun
dengan politik keadilan dan pemerataan untuk mewujudkan solidaritas sosial dan
nasional tak kunjung datang? Entahlah!
(dimuat di Bandung Ekspres, 24 September 2011)