Oleh Silahudin
Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung
MENJUAL HARAPAN - BARU-baru ini, jagat langit Indonesia dihebohkan oleh fonomena ‘lapor ke petugas Damkar lebih aman, ketimbang ke polisi’. Tentu hal itu bukan tanpa alasan, namun memiliki pesan penting yang ditujukan kepada kepolisian Republik Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk reformasi institusi penegak hukum, sebuah fenomena mengguncang fondasi kepercayaan publik, yaitu: masyarakat lebih memilih melapor ke petugas pemadam kebakaran (Damkar) ketimbang ke kepolisian (Polri) saat menghadapi situasi darurat.
Memang, fenomena ini bukan sekadar anomali sosial, melainkan indikator empirik dari krisis legitimasi yang dialami Polri. Ia menyingkap luka lama yang belum sembuh—tentang pelayanan yang lamban, birokrasi yang berbelit, dan rasa takut yang tak kunjung hilang.
Bahkan, Menko Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Pemasyarakan, Yusril Ihza Mahendra, menyoroti bahwa masyarakat merasa lebih aman berinteraksi dengan Damkar. Polisi justru menimbulkan rasa takut. Ini bukan sekadar persepsi, melainkan pengalaman kolektif yang membentuk pilihan publik (https://video.kompas.com).
Tanggapan juga datang dari Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, mengakui bahwa Polri siap beradaptasi. Ia menyebut pembentukan Komisi Transformasi Internal sebagai bukti keseriusan. Namun, pengakuan bahwa masyarakat lebih percaya Damkar menunjukkan bahwa reformasi belum menyentuh akar persoalan (https://mediaindonesia.com). Anggota Komisi III DPR, Abdullah menegaskan bahwa laporan masyarakat sering diabaikan oleh Polri. Damkar dipilih karena lebih cepat dan responsif. Ia mendesak Polri untuk introspeksi dan melakukan pembenahan struktural maupun kultural (https://mediaindonesia.com).
Pertanyaan sederhana, mengapa Damkar lebih dipercaya? Fenomena ini dapat dijelaskan melalui empat dimensi empirik, yaitu pertama, Responsivitas. Damkar hadir dengan cepat, tanpa birokrasi. Polri, sebaliknya, sering kali lamban. Wakapolri sendiri mengakui bahwa respons aduan publik masih jauh dari standar PBB (maksimal 10 menit).
Kedua, rasa aman. Petugas Damkar dipersepsikan sebagai penolong netral. Polisi, dalam banyak kasus, justru menimbulkan rasa takut dan ketidaknyamanan. Ini menunjukkan kegagalan Polri dalam membangun citra sebagai pelindung masyarakat.
Ketiga, Integritas. Banyak laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti secara tuntas. Publik enggan berurusan dengan polisi karena pengalaman buruk: proses berbelit, potensi pungli, dan minimnya transparansi.
Keempat, Stagnasi Reformasi. Publik tetap melihat Polri sebagai institusi yang lamban berubah. Reformasi sejak 1999 hingga 2025 belum mampu mengembalikan kepercayaan publik secara signifikan.
Oleh karena itu, fenomena “lapor Damkar” merupakan tamparan keras bagi Polri. Ia menyingkap kegagalan reformasi dalam fungsi dasar: melayani dan melindungi.
Untuk mengembalikan kepercayaan publik, reformasi Polri harus melampaui retorika dan menyentuh aspek-aspek berikut:
Pertama, Struktural. Pangkas birokrasi, terapkan sistem aduan publik berbasis teknologi, dan pastikan respons cepat. Kedua, Kultural. Ubah paradigma aparat dari “penegak kekuasaan” menjadi “pelayan masyarakat”.
Ketiga, Akuntabilitas. Audit independen, publikasi kinerja, dan pelibatan masyarakat sipil. Dan keempat, Kepemimpinan. Kapolri dan jajaran harus menunjukkan teladan nyata, bukan sekadar pengakuan.
Ketika masyarakat lebih percaya pada Damkar untuk urusan yang seharusnya ditangani Polri, maka kita sedang menghadapi krisis institusional yang serius. Jika Polri gagal berbenah, maka bukan hanya kepercayaan publik yang hilang—melainkan juga legitimasi hukum dan stabilitas demokrasi.
Reformasi Polri bukan pilihan, melainkan keharusan. Dan kepercayaan publik bukan hadiah, melainkan hasil dari kerja nyata.*
Komentar