Refleksi Pidato Megawati Soekarnoputri, Politik Menyentuh Tanah dan Nurani
MENJUAL HARAPAN - Di tengah riuh rendah politik elektoral yang kerap dipenuhi jargon dan kalkulasi elektabilitas, pidato Megawati Soekarnoputri dalam Kongres VI PDI Perjuangan di Badung, Bali, menghadirkan jeda reflektif yang langka. Ia tidak bicara tentang kemenangan, kursi, atau strategi kampanye. Ia bicara tentang kesadaran, keberpihakan, dan keberanian untuk melakukan kritik otokritik. Dalam ruang yang disebutnya sebagai candradimuka ideologis, Megawati mengajak kader untuk kembali ke akar, yakni menyatu dengan rakyat, bukan sekadar tampil di panggung politik.
Pernyataan “Saya tidak butuh kader yang hanya pandai beretorika” bukan sekadar teguran internal. Ia adalah kritik terhadap praktik politik yang kehilangan makna. Retorika tanpa kerja nyata merupakan bentuk pengkhianatan terhadap ideologi partai dan harapan rakyat. Dalam konteks ini, Megawati menempatkan politik bukan sebagai seni memenangi kekuasaan, melainkan sebagai praksis etis yang lahir dari pengalaman rakyat dan keberanian untuk berpihak.
Secara filosofis, pidato ini menghidupkan kembali gagasan politik sebagai ruang pembentukan karakter dan kesadaran kolektif. Politik bukan sekadar prosedur administratif, melainkan medan pembentukan nilai. Di sinilah pentingnya candradimuka—bukan sebagai tempat pelatihan teknis, tetapi sebagai ruang pembakaran ego, penyatuan tekad, dan penajaman nurani. Dalam tradisi Jawa, candradimuka adalah kawah tempat Gatotkaca ditempa menjadi ksatria. Dalam konteks partai, ia menjadi metafora bagi proses ideologisasi yang mendalam.
Refleksi ini tidak berhenti di tataran simbolik. Secara empiris, kita melihat bagaimana banyak kader partai—di berbagai level—terjebak dalam politik transaksional. Mereka hadir saat kampanye, hilang setelah pemilu. Mereka bicara tentang rakyat, tetapi tidak pernah duduk bersama warga untuk mendengar cerita yang tidak tercatat dalam data statistik. Pidato Megawati menjadi panggilan untuk membalik arah, yaitu dari politik pencitraan menuju politik penyatuan.
Dalam pelatihan kader, narasi ini bisa menjadi titik tolak untuk membangun modul reflektif. Kader diajak menulis narasi warga, bukan sekadar laporan kegiatan. Mereka diminta melakukan kritik terhadap diri sendiri, bukan hanya terhadap lawan politik. Mereka dilatih untuk menyusun kebijakan berbasis cerita, bukan angka. Di sinilah politik menjadi praksis epistemik—mengakui bahwa pengetahuan warga adalah sumber perubahan yang sah dan bermakna.
Lebih jauh, pidato ini juga mengandung pesan tentang pentingnya konsolidasi ideologis. Di era digital yang serba cepat, partai mudah tergoda menjadi mesin elektoral yang kehilangan arah. Megawati mengingatkan bahwa partai harus menjadi penyeimbang, bukan sekadar oposisi atau koalisi. Penyeimbang yang berpihak pada rakyat, bukan pada kekuasaan. Ini merupakan posisi yang sulit, tetapi justru di sanalah nilai ideologi diuji.
Dengan demikian, pidato Megawati bukan hanya milik PDI Perjuangan. Ia menjadi refleksi yang relevan bagi semua aktor politik, akademisi, dan warga yang percaya bahwa politik bisa menjadi ruang etis. Bahwa di tengah pragmatisme, masih ada ruang untuk keberanian berpikir, keberpihakan pada yang lemah, dan kesetiaan pada nilai. Politik, dalam makna terdalamnya, merupakan seni menyentuh tanah dan nurani. (Silahudin)