Langsung ke konten utama

Kemiskinan yang Diinstitusikan



MENJUAL HARAPAN - Kemiskinan di negeri ini bukan sekadar statistik. Ia adalah wajah-wajah yang kita temui setiap hari, yaituibu yang menjual gorengan di pinggir jalan, petani yang tak punya akses pupuk, dan nelayan yang kehilangan lautnya. Mereka bukan angka, mereka adalah narasi yang diabaikan.

Kemiskinan bukan takdir, melainkan hasil dari keputusan politik. Ia lahir dari kebijakan yang tak berpihak, dari anggaran yang tak menyentuh akar masalah, dan dari sistem pelayanan yang tak mengenali kebutuhan warga. Kemiskinan adalah produk institusi.

Dalam dialog komunitas, warga sering berkata: “Kami miskin bukan karena malas, tapi karena tak diberi ruang.” Pernyataan ini menggugat asumsi lama bahwa kemiskinan adalah kesalahan individu. Padahal, sistemlah yang menciptakan ketidakadilan akses.

Kemiskinan yang diinstitusikan berarti negara ikut melanggengkan ketimpangan. Melalui regulasi yang bias, program bantuan yang bersifat karitatif, dan pelayanan yang diskriminatif. Negara hadir, tetapi tidak berpihak.

Dalam refleksi filosofis, kemiskinan adalah bentuk kekerasan struktural. Ia tak terlihat, tetapi terasa. Ia tak berdarah, tetapi menyakitkan. Ia merampas pilihan, membatasi mimpi, dan membungkam suara. Kemiskinan adalah bentuk penjajahan baru.

Program pengentasan kemiskinan sering kali bersifat simbolik. Bantuan diberikan sesaat, tanpa perubahan sistemik. Warga diberi sembako, tetapi tak diberi akses tanah. Diberi pelatihan, tetapi tak diberi pasar. Diberi harapan, tetapi tak diberi hak.

Kemiskinan juga diinstitusikan melalui logika pembangunan. Proyek besar dibangun di atas tanah warga, investasi masuk tanpa konsultasi, dan pertumbuhan ekonomi dijadikan ukuran keberhasilan. Padahal, warga kehilangan ruang hidupnya.

Dalam pelayanan publik, kemiskinan sering kali diperlakukan sebagai masalah administratif. Warga harus menunjukkan surat miskin, mengikuti prosedur rumit, dan membuktikan penderitaannya. Kemiskinan menjadi syarat, bukan kondisi yang harus dihapuskan.

Kemiskinan juga diproduksi oleh sistem pendidikan yang tak berpihak. Anak-anak dari keluarga miskin tak punya akses bimbingan, tak punya perangkat belajar, dan tak punya ruang refleksi. Mereka tertinggal bukan karena bodoh, tetapi karena sistem tak adil.

Dalam sistem kesehatan, warga miskin sering kali diperlakukan sebagai beban. Mereka harus antre lebih lama, mendapat layanan seadanya, dan sering kali tak diprioritaskan. Padahal, kesehatan adalah hak, bukan privilese.

Kemiskinan juga diinstitusikan melalui narasi media. Warga miskin digambarkan sebagai objek belas kasihan, bukan subjek perjuangan. Mereka dijadikan konten, bukan mitra perubahan. Narasi ini memperkuat stigma.

Namun, kemiskinan bisa dilawan jika kita mengubah cara pandang. Dari belas kasihan menjadi keberpihakan. Dari bantuan menjadi hak. Dari program menjadi transformasi. Kemiskinan harus dilihat sebagai masalah struktural, bukan moral.

Dalam pendekatan visual, kemiskinan bisa divisualisasikan sebagai struktur, bukan individu. Diagram ketimpangan, peta akses, dan narasi warga bisa menjadi alat advokasi. Visual bukan hanya untuk estetika, tetapi untuk menggugat.

Kemiskinan juga harus diangkat dalam kurikulum pendidikan. Anak-anak harus belajar tentang ketimpangan, tentang keadilan sosial, dan tentang hak warga. Pendidikan harus membentuk kesadaran, bukan hanya pengetahuan.

Dan mungkin, kemiskinan akan berakhir ketika warga bisa berkata: “Kami tak butuh belas kasihan, kami butuh keadilan.” Ketika mereka bisa mengakses tanah, pendidikan, kesehatan, dan suara. Ketika sistem berubah, bukan hanya program.

Episode ini adalah ajakan untuk membongkar institusi kemiskinan. Agar kita tak lagi menormalisasi ketimpangan, tak lagi menyalahkan korban, dan tak lagi menunda keadilan. Karena kemiskinan bukan takdir—ia adalah hasil, dan karena itu bisa diubah. (Episode-7 dari Serial Refleksi Kemerdekaan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...