HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Dominasi Nama-Nama Pemain Asing di Super League 2025/2026, Dimana Ruang Anak Negeri?



MENJUAL HARAPAN - Di setiap akhir pekan, stadion-stadion di penjuru Indonesia bergemuruh. BRI Liga 1 atau Super League Indonesia, kembali menyapa, membawa semangat, harapan, dan tentu saja - nama-nama asing yang mendominasi papan skor dan headline media.

Dari striker asal Brasil hingga gelandang bertahan dari Jepang, wajah-wajah internasional itu menjadi tulang punggung klub-klub elite. Tapi di balik sorotan itu, muncul pertanyaan mendasar: di mana ruang bagi pemain lokal?

Dominasi pemain asing bukanlah fenomena baru. Sejak era Liga Indonesia bergulir di pertengahan 1990-an, klub-klub mulai membuka pintu bagi talenta luar negeri. Awalnya sebagai pelengkap, kini mereka menjadi penentu. Dalam banyak laga, pemain asing bukan hanya mencetak gol, tapi juga mengatur ritme, menjadi kapten, bahkan menjadi ikon klub.

Secara teknis, kehadiran pemain asing membawa sejumlah kelebihan. Mereka datang dengan pengalaman bermain di liga yang lebih kompetitif, disiplin taktik yang lebih tinggi, dan mental bertanding yang teruji. Banyak dari mereka pernah mencicipi atmosfer liga Asia, Amerika Latin, bahkan Eropa Timur. Bagi pelatih, mereka adalah solusi instan untuk mengangkat performa tim.

Namun, kelebihan itu menyimpan paradoks. Ketika pemain asing menjadi pusat permainan, pemain lokal terpinggirkan. Posisi strategis seperti playmaker, striker utama, atau bek tengah sering kali diisi oleh pemain asing. Akibatnya, pemain lokal hanya menjadi pelapis, atau bahkan sekadar penghangat bangku cadangan.

Dalam konteks pembangunan sepak bola nasional, ini menjadi dilema. Bagaimana mungkin kita berharap tim nasional kuat jika talenta lokal tidak diberi ruang berkembang di kompetisi tertinggi? Liga seharusnya menjadi laboratorium pembentukan karakter dan teknik pemain lokal. Tapi jika ruang itu dikuasai oleh pemain asing, maka proses pembentukan itu terhambat.

Mari kita lihat data. Dalam beberapa musim terakhir, rata-rata setiap klub Liga 1 memiliki 4 hingga 6 pemain asing. Pada musim 2025/2026, BRI Super League keseluruhan pemain asing 152 pemain (Lihat: www.cnnindonesia.com ). Dan bila dirata-ratakan setiap klub peserta BRI Super League 2025/2026, 9 (sembilan) orang pemain asing. Pertanyaan sederhananya, dimana ruang bagi pemain-pemain (muda) lokal?

Kita juga perlu mencermati aspek ekonomi. Pemain asing sering kali datang dengan gaji tinggi, fasilitas premium, dan kontrak eksklusif. Sementara pemain lokal, meski berprestasi di level junior atau PON, harus berjuang keras untuk mendapatkan kontrak profesional. Ketimpangan ini menciptakan hierarki yang tidak sehat dalam ruang ganti.

Idealnya, regulasi liga harus lebih berpihak pada pengembangan pemain lokal. Misalnya, dengan mewajibkan minimal tiga pemain lokal di starting eleven, atau memberikan insentif bagi klub yang mempromosikan pemain dari akademi sendiri. Liga Thailand dan Jepang sudah menerapkan model ini, dan hasilnya terlihat di performa tim nasional mereka.

Kita juga perlu membangun ekosistem pembinaan yang kuat. Akademi sepak bola harus menjadi prioritas, bukan sekadar formalitas. Klub harus diberi insentif untuk membina pemain muda, bukan hanya membeli pemain asing sebagai solusi instan. Di sinilah peran federasi dan operator liga menjadi krusial.

Dalam narasi sepak bola nasional, pemain lokal bukan sekadar pelengkap. Mereka adalah representasi identitas, semangat, dan harapan publik. Ketika mereka diberi ruang, bukan hanya performa tim yang meningkat, tapi juga keterikatan emosional antara klub dan komunitasnya.

Sepak bola bukan hanya soal menang. Ia adalah soal representasi. Ketika klub-klub lebih memilih pemain asing daripada anak daerah sendiri, maka kita kehilangan makna dari sepak bola sebagai ruang ekspresi lokal. Stadion menjadi panggung bagi nama-nama asing, sementara nama-nama lokal tenggelam dalam bayang-bayang.

Selama mengikuti Liga Indonesia sejak era Galatama, saya percaya bahwa talenta lokal Indonesia tidak kalah. Mereka hanya butuh ruang, kepercayaan, dan sistem yang mendukung. Kita punya banyak contoh seperit: Evan Dimas, Egy Maulana, Marselino Ferdinan -- mereka bersinar ketika diberi kesempatan.

Maka kritik terhadap dominasi pemain asing bukanlah xenofobia. Ini adalah panggilan untuk menyeimbangkan. Untuk memastikan bahwa liga kita bukan hanya kompetitif, tapi juga membumi. Bahwa di antara nama-nama asing, ada ruang bagi anak negeri untuk bermimpi, bermain, dan bersinar.

Sepak bola Indonesia harus menjadi milik semua. Milik pemain asing yang memberi warna, dan milik pemain lokal yang memberi jiwa. Tanpa keseimbangan itu, liga hanya menjadi panggung komersial, bukan ruang pembentukan karakter bangsa.

Kini saatnya kita bertanya: apakah kita ingin liga yang gemerlap tapi kehilangan akar, atau liga yang membumi dan membentuk masa depan sepak bola nasional? Jawabannya ada pada regulasi, keberanian klub, dan suara publik yang tak pernah lelah mencintai sepak bola Indonesia. (Silahudin)

Tutup Iklan