Dari Pajak ke Pemakzulan, Narasi Politik Warga Pati dan Krisis Legitimasi Lokal
MENJUAL HARAPAN - Di tengah alun-alun Pati yang memerah oleh spanduk dan suara rakyat, ribuan warga berkumpul menuntut satu hal, yaitu: mundurnya Bupati Sudewo. Aksi ini bukan sekadar protes kebijakan, melainkan ekspresi kolektif dari rasa kecewa, marah, dan kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin yang mereka pilih secara demokratis. (lihat: antaranews.com dan kompas.com).
Dalam Sosiologi Politik Kontemporer, demonstrasi semacam ini dipahami sebagai bentuk artikulasi politik warga yang melampaui saluran formal. Charles Tilly menyebutnya sebagai “repertoar aksi kolektif”- cara warga menyampaikan klaim politik ketika institusi gagal merespons aspirasi mereka secara bermakna (Tilly, 2004).
Pemicu awalnya adalah kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Meski kebijakan itu akhirnya dibatalkan, gelombang kemarahan tak surut. Mengapa? Karena akar masalahnya bukan sekadar pajak, melainkan akumulasi ketidakpuasan terhadap gaya kepemimpinan yang dinilai arogan dan tidak partisipatif (Lihat: antaranews.com dan cnnindonesia.com).
Sudewo, yang sebelumnya anggota DPR dari Fraksi Gerindra, dianggap membawa gaya politik elitis ke ruang lokal. Ketika ia menantang warga untuk mengerahkan massa, pernyataan itu ditafsirkan sebagai bentuk pelecehan terhadap aspirasi rakyat. “Siapa yang akan melakukan penolakan, silakan kerahkan 50.000 orang, saya tidak akan gentar,” katanya kompas.com).
Pernyataan itu menjadi titik balik. Dalam teori komunikasi politik, ini disebut sebagai “disruptive framing”—ketika pemimpin gagal membingkai kebijakan secara empatik, dan malah memperkuat antagonisme (Entman, 1993).
Warga Pati tak hanya menolak pajak, mereka menolak simbol kekuasaan yang tak lagi merepresentasikan mereka. Dalam perspektif Jurgen Habermas, ruang publik seharusnya menjadi arena deliberatif, bukan dominatif. Ketika suara warga tak diakomodasi, maka ruang publik berubah menjadi arena perlawanan.
Demonstrasi ini juga menunjukkan transformasi politik warga dari pasif menjadi aktif. Aliansi Masyarakat Pati Bersatu bukan sekadar gerakan spontan, melainkan bentuk konsolidasi politik akar rumput. Teguh Istyanto, koordinator aksi, menyebut bahwa tuntutan warga mencakup kebijakan lima hari sekolah, PHK honorer RSUD, dan regrouping sekolah yang berdampak pada guru. (lihat: cnnindonesia.com).
Dalam kerangka sosiologi politik, ini disebut sebagai “mobilisasi grievance”—ketika keluhan sosial dikonversi menjadi gerakan politik. Menurut Sidney Tarrow, gerakan sosial muncul ketika ada peluang politik dan jaringan sosial yang mendukungnya (Tarrow, 1998).
DPRD Pati merespons dengan membentuk panitia khusus (pansus) hak angket. Ini menunjukkan bahwa tekanan publik telah menggeser dinamika kekuasaan lokal. Dalam teori institusional, ini disebut sebagai “responsive governance”—ketika institusi formal dipaksa merespons tekanan informal demi menjaga legitimasi.
Namun, Sudewo tetap bergeming. Ia menegaskan bahwa dirinya dipilih secara konstitusional dan tidak bisa mundur hanya karena tekanan massa. Pernyataan ini membuka perdebatan tentang batas antara legalitas dan legitimasi. Max Weber membedakan keduanya: legalitas adalah prosedur, legitimasi adalah penerimaan sosial.
Ketika legalitas tidak lagi didukung oleh legitimasi, maka kekuasaan menjadi rapuh. Dalam konteks Pati, Sudewo mungkin sah secara hukum, tapi tidak lagi sah secara sosial. Ini adalah krisis representasi yang menjadi ciri khas politik lokal kontemporer.
Demonstrasi ini juga memperlihatkan bahwa warga bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek politik. Mereka menuntut hak untuk menentukan arah pembangunan, bukan hanya menerima keputusan dari atas. Ini sejalan dengan gagasan Nancy Fraser tentang “keadilan partisipatif”—bahwa demokrasi harus menjamin partisipasi yang setara dalam pengambilan keputusan (Fraser, 2008).
Di balik spanduk dan orasi, ada narasi yang lebih dalam: warga Pati sedang menulis ulang kontrak sosial mereka. Mereka menolak menjadi penonton dalam panggung politik lokal. Mereka ingin menjadi aktor utama, dengan suara yang didengar dan dihormati.
Dalam konteks Indonesia, demonstrasi ini menjadi cermin bahwa demokrasi lokal belum sepenuhnya matang. Ketika pemimpin merasa tak perlu mendengar rakyat, dan rakyat merasa tak punya saluran formal, maka jalanan menjadi ruang politik alternatif.
Karenanya, kepemimpinan lokal harus berbasis empati, dan partisipasi, bukan sekadar prosedur formal. Ketika empati hilang, maka partisipasi berubah menjadi perlawanan.
Gelombang demo di Pati bukan sekadar peristiwa politik, tapi juga peristiwa sosiologis. Ia menunjukkan bahwa masyarakat punya daya reflektif, daya kritik, dan daya aksi. Mereka bukan massa yang bisa dibungkam, tapi komunitas yang bisa bergerak.
Maka, pelajaran dari Pati adalah demokrasi lokal harus dibangun di atas fondasi kepercayaan, bukan ketakutan. Kepemimpinan harus menjadi cermin aspirasi, bukan bayangan kekuasaan. Dan warga, harus terus menjaga ruang publik sebagai arena harapan, bukan sekadar tempat demonstrasi. (Silahudin, Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung)