Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, Sekedar Jeda Waktu Atau Demokrasi Substantif
Oleh Silahudin
MENJUAL-HARAPAN - DI tengah kebisuan yang acapkali mengendap dalam tubuh demokrasi elektoral Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK), mengetuk nurani berbangsa dan bernegara melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Lewat putusan tersebut, pemilu nasional dan lokal dipisahkan secara formal (teknis waktu). Tentu ini sebuah keputusan yang bisa mungkin dianggap terasa administratif di satu sisi, akan tetapi di sisi lain, menyentuh urat nadi konstitusionalitas dan makna mendalam dalam demokrasi partisipatoris, dalam semangat kehadiran negara terhadap warganya.
Dua dasawarsa terakhir, kita dihadapkan pada realitas "pemilu lima kotak". Dalam tarikan napas lima kotak itu, pemilih diminta menentukan pilihan presiden-wakil presiden, DPR dan DPD RI, serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota. Pada posisi ini narasi suara nasional dan lokal bersaing, yang tidak menutup kemungkinan mengaburkan kebutuhan komunitas lokal. Dan tampak disinilah filosofis keputusan MK menjadi menarik, bukan hanya sekedar memecah waktu, akan tetapi mendekonstruksi ketimpangan antara narasi besar dan suara kecil (lokal).
Secara epistemik, keputusan MK tersebut dapat dibaca sebagai upaya mengembalikan pemilu kepada rakyat, bukan kepada sistem yang terlalu tergila-gila pada efisiensi semu. Oleh karena, demokrasi bukan kalkulasi teknokratik semata. Justru demokrasi merupakan ruang etis, tempat warga menilai bukan hanya siapa yang berkuasa, akan tetapi bagaimana mereka diberi ruang untuk memahami siapa yang patut berkuasa dalam konteks kehidupan mereka sendiri.
Memang, respon atas putusan MK tersebut tidak lepas menuai kritik dari berbagai kalangan yang intinya menyayangkan inkonsistensi MK terhadap putusannya sendiri, yaitu No 55/PUU-XVII/2019. Di satu sisi MK membuka opsi keserentakan, dan di sisi lain, seakan menyempitkan pilihan legislator dengan menetapkan satu model sebagai norma konstitusional. Pada titik simpul ini, MK bisa saja dituding bermain di wilayah pembentuk undang-undang, yang secara konstitusional bukan miliknya atau kewenangannya.
Selanjutnya, dalam bingkai kehendak etis berdemokrasi, putusan MK yang baru tersebut, dapat dimaknai sebagai koreksi terhadap demokrasi yang terlalu lama dijejali efisensi institusional, akan tetapi miskin/kerdil pemaknaan elektoral. Oleh karena itu, penundaan jadwal pemilu lokal hingga dua setengah tahun setelah pemilu nasional, dapat memberi peluang rekontektualisasi isu-isu yang sungguh-sungguh bermakna bagi warga lokal.
Dengan pemilu yang terpisah, kemungkinan-kemungkinan tumbuhnya kualitas deliberasi, entah dalam diskusi-diskusi komunitas warga, dalam kampanye, maupun refleksi warga dalam menentukan pilihan. Ada jeda untuk bernapas. Jadi, dari perspektif partisipasi, membayangkan pemilih yang kini tak lagi dilanda kelelahan memilih, atau informasi yang berlomba-lomba membingungkan.
Pada tataran lainnya, memang tidak bisa diingkari ada celah yang mengintai, dimana dalam desain ulang, risiko perpanjangan jabatan kepala daerah demi untuk penyesuaian jadwal tentu menjadi kekhawatiran yang perlu dicermati secara serius. Pertanyaannya, kenapa? Moral hazard dari kekuasaan transisi sangat mungkin terbuka, bila regulasi turunan dan kontrol sosial (pengawasan publik) tidak disiapkan secara matang. Pada konteks ini, publik sangat perlu memainkan perannya sebagai "penafsir kedua" konstitusi, dalam arti melampaui MK, menju ruang publik yang lebih otonom dan cerdas.
Selain itu juga, aspek logistik tentu tidak bisa diabaikan. Dua pemilu dalam satu periode, sudah barang tentu menggandakan anggaran, SDM, dan kelelahan administratif. Namun, demokrasi memang tidak pernah murah. Yang mahal adalah ketidakhadirannya. Bila biaya itu ditukar dengan kualitas kedaulatan rakyat yang lebih hakiki, mungkin ini investasi politik yang layak dipertimbangkan.
Memang, dilihat dari perspektif politik lokal, ini merupakan peluang untuk memperkuat kultur politik lokal. Dipisahkannya agenda nasional, kampanye kepala daerah, termasuk legislatif daerah bisa memberdayakannya nilai-nilai kearifan lokal berbasis komunitas. Dengan demikian, desentralisasi bukan hanya menjadi urusan struktur pemerintahan, tapi juga kultur politik itu sendiri.
Keputusan MK tersebut, secara etis moral merupakan panggilan menghidupkan demokrasi substantif, bukan hanya dalam seremoni. Jadi, kita memang diajak berpikir ulang, apakah demokrasi yang baik merupakan yang serentak dan cepat, atau yang bermakna?
Pada tataran ini, MK bukan hanya bertindak sebagai penjaga hukum dasar, namun dapat dikatakan sebagai penggugah moral kelembagaan. Oleh karena, dalam setiap keputusan konstitusional, terdapat peluang untuk menanamkan kembali nilai, mengurai kerumitan, dan menghidupkan kembali cita-cita demokrasi yang tidak hanya prosedural, namun substantif.
Dengan demikian, apakah keputusan MK tersebut akan menyelematkan demokrasi, atau justru mengaburkannya? Tentu jawabannya sangat tergantung pada aktor politik, penyelenggara pemilu, dan juga publik itu sendiri. Toh! Demokrasi merupakan cermin. Apa yang kita kerjakan dengannya, merupakan pantulan dari siapa kita sebagai bangsa.*
*)Penulis, Pemerhati Sosial Politik, Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung