Menyeimbangkan Ekosistem di Bumi Pertiwi
MENJUAL HARAPAN - Di tengah riuhnya peringatan Hari Hutan Sedunia (22 Juni), dan sorotan akan laju deforestasi yang mengkhawatirkan, kita patut merenungkan subuah pendekatan yang melampau sekedar konservasi hutanisasi. Bukan hanya tentang menanam kembali pohon, melainkan sebuah filosofi mendalam tentang pemulihan keseimbangan, menata ulang tatanan ekologis yang terenggut, dan merajut kembali simfoni alam yang terdistorsi.
Di Indonesia, sebuah negeri yang diberkahi dengan keanekaragaman hayati melimpah, konsep hutanisasi menjadi sebuah keniscayaan, bukan hanya impian utopis. Ini adalah perjalanan empirik yang menuntut kebijaksanaan, kesabaran, dan kearifan kolektif.
Secara filosofis, hutanisasi merupakan tindakan rekonsiliasi manusia dengan alam. Kita telah terlalu lama memandang hutan sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi, melupakan bahwa ia adalah entitas hidup yang memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang. Pendekatan ini, mengajak kita untuk mengembalikan peran hutan sebagai jantung ekosistem, regulator iklim mikro, penopang keanekaragaman hayati, dan penjaga siklus air.
Hutanisasi bukan sekadar penambahan luasan area hijau, melainkan upaya membangun kembali sebuah "rumah" bagi flora dan fauna, serta menjaga keberlanjutan hidup manusia itu sendiri. Ibarat sebuah orkestra yang kehilangan beberapa instrumen utamanya, hutanisasi merupakan bagian integral upaya mengembalikan harmoni yang hilang, memungkinkan setiap komponen memainkan perannya secara sempurna.
Secara empirik, konteks Indonesia menyajikan tantangan sekaligus peluang besar. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), laju deforestasi di Indonesia menunjukkan tren penurunan, meskipun angkanya masih signifikan. Periode 2019-2020 tercatat laju deforestasi sebesar 115,4 ribu hektar, dan menurun pada periode 2020-2021 menjadi 110 ribu hektar, kemudian menjadi 104 ribu hektar pada periode 2021-2022. Angka ini, meskipun menurun, tetap menunjukkan perlunya tindakan masif. Degradasi lahan gambut, hilangnya hutan mangrove, dan konversi hutan menjadi perkebunan monokultur telah meninggalkan jejak ekologis yang dalam. Hutanisasi, dalam konteks ini, berarti mengembalikan fungsi-fungsi ekologis yang hilang.
Salah satu contoh empirik dari upaya hutanisasi adalah program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang gencar dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Program ini tidak hanya berfokus pada penanaman pohon di area yang terdegradasi, akan tetapi melibatkan pemberdayaan masyarakat lokal dalam proses pemeliharaan dan pengelolaan. Contohnya adalah penanaman di daerah aliran sungai (DAS) kritis, restorasi ekosistem gambut, dan rehabilitasi hutan bakau di pesisir. Tujuan utamanya bukan hanya menambah tutupan hutan, melainkan memulihkan jasa ekosistem yang hilang, seperti pencegahan erosi, penyerapan karbon, dan penyediaan air bersih.
Lebih dari itu, pendekatan hutanisasi juga terintegrasi dengan inisiatif perhutanan sosial. Program ini memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat adat dan komunitas lokal, mendorong mereka menjadi penjaga sekaligus pemanfaat hutan secara lestari. Ketika masyarakat memiliki ikatan emosional dan ekonomi dengan hutan, mereka akan menjadi garis depan pertahanan terhadap deforestasi.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa hutanisasi bukan sekadar proyek teknis, melainkan sebuah gerakan sosial yang melibatkan partisipasi aktif dari seluruh elemen bangsa. Keberhasilan program ini telah tercatat dalam berbagai laporan KLHK, menunjukkan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat mampu meningkatkan tutupan lahan dan kesejahteraan.
Dalam skala yang lebih luas, hutanisasi juga mencakup upaya penegakan hukum yang tegas terhadap pembalakan liar dan perambahan hutan. Tanpa ketegasan ini, upaya reboisasi dan rehabilitasi akan menjadi sia-sia. Kebijakan moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut merupakan langkah krusial dalam menahan laju deforestasi dan memberikan ruang bagi alam untuk memulihkan diri. Data dari KLHK menunjukkan bahwa kebijakan ini telah berkontribusi signifikan terhadap penurunan angka deforestasi dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, tantangannya menuju hutanisasi sejati masih membentang. Edukasi publik tentang pentingnya hutan, koordinasi antar-sektor yang lebih kuat, dan inovasi dalam teknologi restorasi ekosistem masih sangat dibutuhkan. Diperlukan pula komitmen jangka panjang dari seluruh pemangku kepentingan, dari pemerintah, swasta, hingga masyarakat. Hutanisasi adalah sebuah maraton, bukan sprint, yang menuntut kesabaran dan visi jauh ke depan.
Dengan demikian, akhirnya, hutanisasi merupakan sebuah panggilan moral, dan praktis bagi bangsa Indonesia. Ini adalah tentang mewariskan bumi yang lestari kepada generasi mendatang, mengembalikan keseimbangan yang telah lama terganggu, dan menunjukkan bahwa manusia mampu hidup selaras dengan alam.
Dengan memahami filosofi di baliknya, dan didukung oleh data empirik serta upaya kolektif, kita dapat berharap untuk menyaksikan kembali hijaunya hutan-hutan di Nusantara, menjadi cerminan dari harmoni dan keseimbangan ekosistem yang sejati. (Silahudin)