Konflik Iran Versus Israel dan Amerika Serikat, Ketegangan Geopolitik Timur Tengah, dan Dampaknya
Konflik Iran vs Israel (foto hasil tangkapan layar dari www.cnbcindonesia.com ) |
MENJUAL HARAPAN - Ketegangan geopolitik di Timur Tengah tampak makin kompleks dan berkepanjangan, utamanya usai terjadi adu serang antara Iran dengan Israel dan Amerika Serikat (AS).
Memang, tidak bisa diabaikan berakar dari perbedaan ideologi, kepentingan strategis, dan sejarah permusuhan, konflik tersebut telah membentuk lanskap politik kawasan selama beberapa dekade.
Baru-baru ini, Juni 2025, eskalasi terbaru terjadi ketika Israel melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran, dan membuat berang dan memicu serangan balik atau balasan dari Teheran. Dan AS sebagai sekuti utama Israel, juga terlibat yang membuat mempersulit situasi dan meninggalkan risiko perang regional.
Pada titik simpul ini, essai ini mencoba menelusuri akar historis, penyebab terbaru, perkembangan terkini, dan implikasi globalnya.
Akar Sejarah Konflik
Sebelum Revolusi Islam 1979, Iran di bahwa dinasti Pahllavi merupakan sekutu Israel dan AS, dalam arti tidak (selalu) bermusuhan) dengan kerjasama di bidang militer dan ekonomi. Akan tetapi, revolusi yang dipimpin Ayatollah Ruhollah Khomeini yang mengbah Iran menjadi Republik Islam yang anti Israel dan anti AS.
Iran memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, dan mengubah kedutaan Israel di Teheran menjadi kedutaan Palestina, dan mendukung kelompok-kelompok anti Israel, seperti Hizbullah dan Hamas. Sejak rentetan itulah, Iran memandang Israel sebagai kelompok “setan kecil” dan AS sebagai “setan besar,” sedangkan Israel melihat Iran sebagai ancaman eksistensial karena dukungannya terhadap milisi dan program nuklirnya (Lihat: bbc.com).
Program Nuklir Iran sebagai Pemicu Ketegangan
Memang, tidak terhindarkan salah satu pemicu ketengan di wilayah Timur Tengah, khususnya Iran versus Israel, salah satu inti konflik adalah program nuklir Iran. Iran bersikeras bahwa program ini untuk tujuan damai, namun Israel dan AS mencurigai Teheran berupaya mengembangkan senjata nuklir.
Pada 2015, Perjanjian Nuklir (JCPOA) antara Iran dan kekuatan dunia membatasi pengayaan uranium Iran, namun AS keluar dari kesepakatan tersebut pada 2018 di bawah Presiden Donald Trump, sehingga memicu sanksi baru dan ketegangan. Lalu, pada Juni 2025, Israel mengklaim Iran melanggar Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) dengan memperkaya uranium hingga 60%, mendekati 90% yang diperlukan untuk senjata nuklir. Namun, Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menolak klaim ini, menunjukkan bahwa tuduhan Israel tidak berdasar (lihat: detik.com tirto.id).
Eskalasi Militer pada Juni 2025
Ketegangan khususnya Iran versus Israel dan AS, konflik mencapai puncaknya pada 13 Juni 2025, ketika Israel meluncurkan Operasi Rising Lion, serangan udara besar-besaran terhadap lebih dari 200 target di Iran, termasuk fasilitas nuklir Natanz, Isfahan, dan Arak, serta markas Garda Revolusi Iran (IRGC). Serangan tersebut, menurut Kementerian Kesehatan Iran, menewaskan 224 orang, 90% di antaranya warga sipil. Namun, Israel menyebut serangan ini sebagai "tindakan pencegahan" untuk menghentikan ancaman nuklir Iran. Iran tidak tinggal diam, membalas dengan Operasi True Promise III, meluncurkan ratusan rudal balistik dan drone ke Tel Aviv, Yerusalem, dan Haifa, menewaskan 24 orang di Israel (Lihat: detik.com , tempo.co , sindonews.com).
Keterlibatan Amerika Serikat
AS sebagai sekutu utama Israel, memainkan peran kunci dalam konflik ini. Pada tanggal 13 Juni 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa AS telah mengebom fasilitas nuklir Iran, termasuk Fordo, menggunakan bom bunker buster GBU-57A. Trump menyebut serangan ini "sangat sukses" dan mengancam eskalasi lebih lanjut, jika Iran menyerang target AS. Iran mengecam tindakan AS sebagai pelanggaran Piagam PBB, dan mengancam akan menyerang pangkalan militer AS di Timur Tengah jika AS terus terlibat.
Keterlibatan AS memicu kritik domestik, dengan beberapa anggota Kongres, seperti Alexandria Ocasio-Cortez, menyebutnya sebagai pelanggaran konstitusi yang dapat memicu perang jangka panjang (Lihat: bbc.com dan video.kompas.com)..
Peran Proksi dan Aliansi Regional
Secara langsung atau tidak, konflik ini tidak terbatas pada Iran dan Israel, tetapi melibatkan jaringan proksi dan sekutu. Iran mendukung Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, dan Houthi di Yaman, yang semuanya menyerang kepentingan Israel. Sebaliknya, Israel didukung oleh AS dan beberapa negara Teluk, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang melihat Iran sebagai ancaman regional.
Serangan Israel ke Yaman pada 14 Juni 2025, menargetkan pemimpin Houthi, menunjukkan bagaimana konflik ini meluas ke aktor non-negara. Iran juga memperingatkan bahwa pangkalan militer sekutu Israel di kawasan dapat menjadi target jika mereka membantu pertahanan Israel (Lihat: cnbcindonesia.com, dan cnbcindonesia.com)
Dampak Kemanusiaan
Konflik tersebut, tentu saja dampak kemanusiaan sangat parah. Di Iran, serangan Israel menghancurkan kawasan permukiman di Teheran, menewaskan ratusan warga sipil, termasuk 20 anak-anak. Infrastruktur penting seperti depo gas dan kilang minyak juga rusak, memperburuk kondisi ekonomi Iran. Di Israel, serangan rudal Iran menyebabkan lumpuhnya kehidupan di kota-kota besar, dengan warga mengungsi ke tempat perlindungan bawah tanah.
Hingga 17 Juni 2025, lebih dari 1.200 orang terluka di Iran dan 592 di Israel. Komunitas internasional, termasuk PBB, menyerukan gencatan senjata untuk mencegah krisis kemanusiaan yang lebih besar (Lihat: antaranews.com dan cnbcindonesia.com).
Implikasi Ekonomi Global
Konflik tersebut, mengguncang pasar energi global karena Iran adalah produsen minyak besar, dan mengendalikan Selat Hormuz, jalur penting untuk 18-19 juta barel minyak per hari. Harga minyak Brent melonjak 13% menjadi $74,23 per barel pada 13 Juni 2025, memicu kekhawatiran inflasi global.
Indonesia, sebagai pengimpor minyak, menghadapi risiko kenaikan harga BBM dan tekanan subsidi energi. Pasar keuangan global juga volatile, dengan indeks saham seperti Stoxx Europe 600 dan IHSG melemah. Emas, sebagai aset safe haven, naik ke $3.432 per troy ons (lihat: cnbcindonesia.com, bbc.com dan lbs.id).
Respons Komunitas Internasional
Komunitas internasional berupaya meredakan konflik. PBB menyebut serangan AS sebagai "eskalasi berbahaya" dan menyerukan diplomasi. China dan Turki mendesak deeskalasi, dengan Turki menawarkan peran sebagai fasilitator.
Rusia, yang memiliki hubungan erat dengan Iran, memperingatkan AS untuk tidak memberikan bantuan militer langsung ke Israel. Inggris mengirimkan pesawat tempur tambahan ke Timur Tengah, sementara Indonesia menyiapkan evakuasi 386 WNI di Iran dan 194 di Israel. Namun, upaya diplomasi terhambat karena Iran menolak negosiasi selama diserang (lihat: bbc.com, bbc.com dan detik.com).
Strategi Israel dan Kegagalan Diplomasi
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut serangannya bertujuan untuk menghancurkan program nuklir Iran, rudal balistik, dan "poros terorisme." Akan tetapi, banyak analis menilai strategi Netanyahu gagal mempertimbangkan opsi diplomatik.
Serangan Israel justru mempersatukan kelompok-kelompok proksi Iran, seperti Hizbullah dan Houthi, dan meningkatkan risiko konflik multilateral. Keputusan Netanyahu untuk menolak JCPOA dan memilih konfrontasi militer dianggap sebagai kesalahan strategis yang dapat merugikan stabilitas jangka panjang Israel (Lihat: news.detik.com).
Posisi Iran dan Narasi Pertahanan Diri
Iran memposisikan serangannya sebagai "pertahanan diri" berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan bahwa Iran tidak menginginkan perang, namun akan membalas setiap agresi. Iran juga menuduh Israel menyabotase pembicaraan nuklir yang hampir mencapai kesepakatan pada Juni 2025. Dengan kehilangan beberapa komandan IRGC dan ilmuwan nuklir, Iran berada di bawah tekanan domestik untuk menunjukkan kekuatan, tetapi kemampuan militernya terbatas dibandingkan dengan Israel dan AS.(Lihat: bbc.com dan antaranews.com).
Risiko Eskalasi Regional
Konflik ini berpotensi meluas menjadi perang regional. Jika Iran menyerang pangkalan AS atau sekutu Israel di Teluk, negara-negara seperti Arab Saudi dan UEA dapat terseret. Kekosongan kekuasaan di Iran, jika rezimnya jatuh, dapat memicu konflik sipil seperti di Irak dan Libya. Rusia dan China, sebagai pendukung Iran, mungkin meningkatkan bantuan militer, sementara AS dan sekutunya akan memperkuat posisi Israel. Skenario terburuk adalah gangguan di Selat Hormuz, yang dapat menghentikan pasokan minyak global dan memicu krisis ekonomi (Lihat: bbc.com dan cnbcindonesia.com).
Tantangan Diplomasi dan Gencatan Senjata
Diplomasi saat ini terhambat oleh sikap keras kedua belah pihak. Iran menolak bernegosiasi selama diserang, sementara Israel dan AS menuntut Iran menyerah tanpa syarat. Mediator seperti Qatar dan Oman menghadapi kesulitan karena kurangnya kepercayaan.
PBB dan Uni Eropa terus menyerukan gencatan senjata, tetapi tanpa tekanan yang cukup, kemungkinan deeskalasi tetap kecil. Pembicaraan nuklir yang dijadwalkan pada 15 Juni 2025 dibatalkan setelah serangan Israel, menunjukkan betapa rapuhnya upaya diplomatik (Lihat: bbc.com dan tempo.co).
Implikasi untuk Indonesia dan Dunia
Bagi Indonesia, konflik ini meningkatkan risiko ekonomi melalui kenaikan harga minyak dan inflasi. Pemerintah telah menyiapkan evakuasi WNI, namun tantangan logistik di tengah pembatasan komunikasi di Iran tetap besar. Secara global, konflik ini memperdalam polarisasi antara blok Barat (AS dan sekutunya) dan blok Timur (Iran, Rusia, China). Ketegangan juga mengalihkan perhatian dari isu-isu global lain, seperti perubahan iklim dan pemulihan ekonomi pasca-pandemi (Lihat: bbc.com dan cnbcindonesia.com).
Catatan penutup
Konflik Iran versus Israel dan AS pada Juni 2025 ini, mencerminkan kompleksitas geopolitik Timur Tengah, yang didorong oleh sejarah permusuhan, ambisi nuklir, dan persaingan kekuatan regional. Eskalasi militer terbaru telah menimbulkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur, dan ketidakstabilan ekonomi global.
Kendati, komunitas internasional menyerukan diplomasi, sikap keras kedua belah pihak, dan keterlibatan aktor eksternal mempersulit deeskalasi. Untuk mencegah perang regional yang lebih luas, diperlukan komitmen serius terhadap dialog, penghormatan terhadap kedaulatan, dan penyelesaian damai atas isu nuklir Iran. Tanpa langkah ini, Timur Tengah dan dunia akan terus menghadapi ancaman ketidakstabilan yang berkepanjangan. (Sjs-267)