Prajurit TNI AD (foto hasil tangkapan layar dari nasional.sindonews.com) |
MENJUAL HARAPAN - Tampaknya, tak bisa dielakkan salah satu isu politik yang paling hangat dibahas dalam enam bulan pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, adalah mengenai revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Revisi UU TNI dianggap sebagai langkah strategis untuk memperkuat pertahanan nasional, termasuk adaptasi terhadap tantangan modern seperti keamananan siber. Akan tetapi, di sisi lain, kritik terus muncul terkait potensi pengaburan batas antara supremisi sipil dan peran militer, yang dapat mengancam prinsip demokrasi substantif.
Pro dan kontra pun atas revisi UU TNI terus mengujani jagat kepolitikan Indonesia, kendati revisi itu sudah diketok palu di parlemen.
Pihak yang pro, tentu memiliki argumentasi logis rasional, yaitu dalam upaya modernisasi pertahanan.
Revisi UU TNI mencakup penambahan tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), seperti penanganan ancaman siber dan perlindungan warga negara di luar negeri.
Langkah ini dianggap penting untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks (Lihat juga: kumparan.com dan www.goodnewsfromindonesia.id ).
Selain itu, efisiensi birokrasi, dalam mana pembukaan 14 (empat belas jabatan sipil untuk prajurit aktif, dinilai dapat meningkatkan efisiensi birokrasi di lembaga strategis seperti BNPB dan BNPT. (Lihat juga: www.goodnewsfromindonesia.id ).
Bahkan, tidak kalah pentingnya, pihak yang pro juga mengintrodusir, bahwa penguatan stabilitas nasional, dengan berargumen bahwa langkah ini dapat memperkuat stabilitas nasional melalui sinergi antara militer dan sipil. (Lihat juga: kumparan.com ).
Memang, dalam tataran realitas kepolitikan Indonesia enam bulan pertama kepemimpinan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, ingar bingar itu telah menjadi catatan sendiri, utamanya dengan adanya revisi UU TNI tersebut.
Kemudian, pihak yang kontra atas revisi undang-undang itu, kritik kerasnya adalah adanya kekhawatiran bahwa dengan kebijakan tersebut, dapat membuka jalan bagi kembalinya konsep dwifungsi militer, yang pernah menjadi ikon atau ciri khas Orde Baru. (lihat juga: thammyvienvip.com ).
Kekhawatiran tersebut, tentu cukup beralasan, dan di sisi lain juga ancaman terhadap demokrasi.
Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dianggap dapat mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil, yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi. (lihat juga: www.goodonewsfromindonesia.id ).
Tentu soal lainnya, minimnya transparansi. kritik publik atas revisi UU TNI, dianggap kurangnya keterlibatan masyarakat sipil dalam proses revisi, yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik. (lihat juga: thammyvienvip.com ).
Revisi itu sudah selesai dan menjadi undang-undang, lalu bagaimana peluang dan tantangan demokrasi substantif? Tentu saja penting melakukan penguatan partisipasi publik.
Demokrasi substantif memberi ruang bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan politik.
Revisi UU TNI dapat menjadi momentum untuk memperkuat dialog antara pemerintah dan masyarakat.(lihat juga: kumparan.com ).
Penyesuaian atau adaptasi atas tantangan modern dengan revisi UU TNI, Indonesia memiliki peluang untuk memperkuat kapasitas pertahanan nasional tanpa mengorbankan prinsip demokrasi.(lihat: www.goodnewsfromindonesia.id ).
Oleh karena itu, tantangannya, bagaimana menjaga supremisi sipil. Ini tentu menjadi tantangan utama, dengan memastikan bahwa militer tetap berada di bawah kendali otoritas sipil untuk mencegah otoritarianisme.(lihat: thammyvienvip.com ).
Untuk menopang itu, meningatkan tranparansi pemerintah perlu memastikan bahwa segala keputusannya bersifat transparan. (lihat: www.goodnewsfromindonesia.id ).
Revisi UU TNI sudah jadi undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Kendati belum lama dari disahkannya undang-undang tersebut, kini tengah digugugat oleh berbagai lapisan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dikutif dari laman mkri.id, terdapat delapan gugatan atas UU TNI (lima sudah mendapat nomor registrasi, dan tiga belum mendapat nomor registrasi atau masih dalam tahap permohonan diajukan).
Lepas dari proses yudisial review di Mahkamah Konstitusi atas UU TNI tersebut, UU ini merupakan langkah strategis yang memiliki potensi besar untuk memperkuat pertahanan nasional, akan tetapi, tantangannya dalam menjaga prinsip demokrasi substantif tetap menjadi fokus utama.
Dengan demikian, pendekatan yang transparan dan inklusif, UU ini dapat menjadi peluang untuk memperkuat demokrasi Indonesia, dan sekaligus menghadapi tantangan global. (Silahudin)
Komentar