Langsung ke konten utama

Konsistensi Cendekiawan “Memanusiakan” Peradaban

Ilustrasi gambar seorang cendekiawan (Foto hasil proses chat gpt)


MENJUAL HARAPAN - Pergulatan berbagai kehidupan negara bangsa ini (nation state), tampak nyaris tidak lepas dari sorotan kritisi cendekiawan. 

Kaum cendekiawan terus bersuara dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti dalam sosial politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sejenisnya. 

Sosok kehadiran cendekiawan di tengah pergulatan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tak dapat ditampik, niscaya selalu berkontributif. 

Kehadirannya memiliki peran dan fungsi yang strategis, oleh karena kehadirannya senantiasa hirau dan peduli terhadap permasalahan-permasalahan bangsa demi menjunjung derajat kemanusiaan. Dalam bahasa lain, seseorang yang merasa berkepentingan untuk memikirkan secara rasional dan sepanjang pengetahuannya tentang bangaimana suatu masyarakat atau kemanusiaan pada umumnya bisa hidup lebih baik. 

Oleh karena, setiap bangsa dan negara secara langsung atau tidak langsung memutuhkan peran cendekiawan (intelektual) dalam memberi gagasan alternatif angin segar yang konstruktif atas pertimbangan derajat kemanusiaan. 

Rentang pengabdiannya tidak terbius dalam optik sempit. Manakala, kebebasannya seorang cendekiawan terkooptasi oleh atmosfer yang “pengap” pergulatan politik “menghalalkan segala cara”, berarti sebagai karakter kaum penanya dan penjunjung tinggi pembawa alternatif penyegaran pembaharuan, sirna ditelan situasi tersebut. Berhenti sebagai “petualang’ manusia yang senantiasa gelisah membela kebenaran dan keadilan. 

Persoalan yang menggelitik, amat boleh jadi patut dipertanyakan adalah derajat keterlibatan kaum cendekiawan memiliki peran untuk memprakarsai tumbuh dan berkembangnya kesadaran masyarakat kea rah hidup kehidupan yang lebih baik. 

Kegaliban kaum intelektual pada realitas yang ada demi kemasalahan bangsa dan negara, nyaris tak terbantahkan. Mereka para kaum cendekiawan memiliki peluang yang kental berkontribusi sebagai pembawa alternatif untuk menyegar bugarkan kembai hajat-hajat hidup kehidupan bersama. Baik itu dalam neraca aktivitas sosial politik budaya, ekonomi, dan lain sejenisnya. Entah peluang-peluang itu memberikan kelonggaran untuk mengekspresikan dan mencerahkan pengabdiannya, atau sebaliknya, kaum cendekiawan tetap eksis. 

Keberadaannya,”mensejagat”. Para intelektual pijakannya bukan khas monopoli kelompok tertentu, namun berada pada semua golongan. Kapasitas pengetahuan keintelektualannya, tidak terjebak pada “lubang-lubang” sentimental yang sempit. 

Kawa candradimuka kaum cendekiawan adalah kebebasan rausyan fikir universal dan merdeka. Bertanya dan bertanya, kalau pinjam bahasa Y.B. Mangunwijaya bahwa ada satu hal yang membuat cendekiawan kuat dalam penderitaannya. Keyakinannya, bahwa “kebenaran adalah puteri dari Sang waktu.” 

Kesejatian kaum cendekiawan itu, tampak berada pada posisi yang dilematis memang.Maksudnya, kaum cendekiawan, memiliki tenggang jarak keterlibatan langsung dengan hiruk pikuk kehidupan masyarakat. 

Karenanya, ada saat-saat untuk merenung, menerawang dan menganalisis keadaan di depan mata situasi dan kondisi kehidupan sebuah negara. 

Pengembaraannya, keberadaannya mesti berada pada “pertapaan” (asketis). Namun begitu, “meratap” dalam pertapaannya itu tidak selamanya (selalu) mutlak. Oleh karena mereka memiliki fungsi-fungsi kontak sosial sebagai pengejawantahan pembawa pembaharu nilai-nilai insaniah dan martabat kemanusiaan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. 
Disadari kiprahnya itu, membawa ‘efek moral’ yang kondusif bagi kehidupan bersama. Itu tidak dapat difungkiri kadar dialektisnya pada dataran real yang ada. 

Lagi pula, persoalannya selanjutnya, yang masih disandang menjadi dilemma cendekiawan, agar gimana gagasan-gagasan itu menjadi kenyataan, bersamaan dihadapkan pada ambivalensi terhadap kekuasaan. 

Mengutip pernyataan Taufik Abdullah (Prisma 11, 1976) mengatakan, sifat ambivalen cendekiawan terhadap kekuasaan disebabkan oleh pertimbangan antara kemurnian ide dan manifestasi kekuasaan yang diharapkan dapat mewujudkan ide itu dalam kenyataan. Ambivalensi itu juga timbul karena dilemma yang dihadapi cendekiawan dalam hubungan dengan sosial kulturilnya. 

Suatu negara dan bangsa, aneh kedengarannya zonder cendekiawan. Sebab itulah, mutlak adanya. Profilnya, tidak bisa tidak sebagai penjanin pembaharu peradaban. Kekentalannya, tidak dapat dihindari memegang peranan kendali dan konsisten terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Kendati sekalipun, cendekiawan itu harus memasuki “rumah” kekuasaan. Namun, seyogyanya harus tetap berhati lembut, bersih, korektif, integratif dan kreatif. Sehingga dalam dalam ranah itu, peranan cendekiawan, senantiasa memberikan “saham-sahamnya” terhadap proses perkembangan mekanisme hidup kehidupan politik yang baik. 

Dalam arti, keterlibatannya baik langsung maupun tidak langsung (dalam hal politik), mestinya tetap memprakarsainya untuk menngkatkan kecerdasn dan kesadaran kehidupan politik masyarakat yang sginifikan bagi pergulatan politik demokratis, nan berkeadaban. 

Memang, tampak kurang bijaksana, manakala harapan-harapan itu dipikul pundak cendekiawan, namun, paling tidak mereka kaum cendekiawan berkontribusi dengan gagasan-gagasan dalam merajut kemistian peradaba politik yang baik. 

Selo Soemardjan pernah mengeukakan bahwa kelompok intelektual berhadapan dengan tugas ganda untuk menyusun dan mengatur seluruh birokrasi negara di satu pihak dan sementara itu harus mendidik rakyat mengeniai prinsip-prinsip dasar dalam teori dan pelaksanaan demokrasi. 

Dengan demikian, eksistensi kaum cendekiawan itu, katerlibatannya dalam aras politik, bukanlah merupakan sesuatu yang ‘aib’ selama cendekiawan itu tetap konsisten menjadi cendekiawan. Tidak dilanda kebisuan terhadap semangat falsafah perjuanganya – bahwa keberanian dan kejujurannya dilandasi rasa tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam merefleksikan bahkan mewujudkan nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kemerdekaan. 

Karena mereka (kaum cendekiawan) kata Bung Hatta, harus mencegah manusia menjadi makhluk yang buas, jadi manusia biadab yang mengancam satu sama lain, mengancam kebudayaan dan peradaban. 

Horizon rasionalitas kaaum cendekiawan atau intelektual membutuhkan keberanian dan kejujuran, sehingga implikasinya langsung atau tidak langsung dalam struktur sosial politik, mereka tetap concern menumbuh rangsang gagasan-gagasan atau ide-ide alternatifnya. Utamanya, dengan mengerasnya tuntutan rakyat atas persoalan-persoalan “hukum yang tumpul ke atas, tajam ke bawah”, persoalan hak asasi manusia, persoalan hak-hak sosial budaya yang menggema warna dalam pergulatan kehidupan dinamika politik negara bangsa ini. 

Bagaimana seyogyanya mencegah, misalnya keberutalan politik yang menghalalkan segala cara, kendati itu lewat perundang-undangan? Peradaban politik di negeri ini, jangan sampai diobok-obok oleh yang rakus kekuasaan dengan praktik-praktik lancung. 

Keberadaan kaum cendekiwan dalam situasi bagaimanapun di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, tetap mesti eksis. 

Mereka konsisten terhadap panggilan nilai-nilai kemanusiaan, sekalipun berada pada sruktur perpolitikan, atau apalagi sebaliknya, di luar struktur perpolitikan nasional. Niscaya semua mesti ditopang dengan keprahnya yang utuh dan total sebagai cendekiawan. 

Kaum cendekiawan memiliki tanggung jawab moral untuk mengarahkan perubahan, dan kemajuan dalam merajut keadaban publik. Kiprahnya tidak terikat terhadap instutisi apapun, namun kontribusinya pada ranah universal kehidupan negara bangsa yang beradab dalam keadaban politik, hukum, sosial, budaya dan ekonomi. (Silahudin).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tata Cara dan Tahapan RPJPD, RPJMD, dan RKPD dalam Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia: Kajian Normatif dan Partisipatif

Silahudin Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung MENJUAL HARAPAN - PERENCANAAN pembangunan daerah merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui tata kelola pemerintahan yang demokratis, efisien, dan berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, sistem ini diatur secara normatif melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diperinci dalam Permendagri No. 86 Tahun 2017. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah terdiri atas tiga dokumen utama: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Ketiganya disusun secara berjenjang, partisipatif, dan berorientasi hasil (UU No. 23/2014, Pasal 258). RPJPD merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka waktu 20 tahun. Ia berfungsi sebagai arah strategis pembangunan daerah yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). RPJPD d...

Liverpool Terkapar di Anfield: Nottingham Forest Bungkam Raksasa dengan Skor 3-0

MENJUAL HARAPAN - Dalam laga yang seharusnya menjadi ajang pemulihan performa Liverpool, justru berbalik menjadi mimpi buruk di hadapan publik sendiri. Nottingham Forest tampil penuh percaya diri dan disiplin, menaklukkan tuan rumah dengan skor telak 3-0 dalam pekan kedua belas Liga Inggris musim 2025/2026. Forest Menyerang, Liverpool Terkejut Pertandingan dimulai dengan intensitas tinggi, namun Forest menunjukkan bahwa mereka datang bukan untuk bertahan. Murillo membuka keunggulan di menit ke-33 lewat sundulan tajam hasil sepak pojok. Gol ini mengubah atmosfer di Anfield menjadi tegang dan penuh tekanan. Tak lama setelah jeda, Nicolò Savona menggandakan keunggulan Forest di menit ke-46 dengan tembakan jarak jauh yang mengejutkan Alisson Becker. Morgan Gibbs-White menutup pesta gol di menit ke-78, memanfaatkan kelengahan lini belakang Liverpool yang tampak kehilangan arah. Statistik yang Menggambarkan Ketimpangan Penguasaan bola : Liverpool 62% — Forest 38% Tembakan ke gawang : Liv...

Ulasan Matchday Keenam Liga Eropa 2025/2026

MENJUAL HARAPAN - PEKAN keenam Liga Eropa musim 2025/2026 menutup babak penyisihan grup dengan drama yang tak kalah dari panggung utama Liga Champions. Malam penuh intensitas itu menghadirkan kejutan, kepastian, dan tragedi bagi tim-tim yang gagal memanfaatkan momentum terakhir. Dari Glasgow hingga Lyon, dari Porto hingga Basel, setiap stadion menjadi panggung cerita yang akan dikenang sepanjang musim. Celtic Park yang biasanya bergemuruh justru menjadi saksi bisu keperkasaan AS Roma. Tim Serigala Ibukota tampil dingin dan klinis, menggilas Celtic dengan skor telak 0-3. Roma menunjukkan kedewasaan taktik, seakan ingin menegaskan bahwa mereka bukan sekadar penggembira di kompetisi ini. Celtic, yang sempat berharap pada dukungan publik Skotlandia, justru terlihat kehilangan arah sejak menit awal. Di Bucharest, drama sesungguhnya terjadi. FCSB menjamu Feyenoord dalam duel yang berakhir dengan skor gila: 4-3. Pertandingan ini layak disebut sebagai pesta gol yang penuh emosi. FCSB, dengan d...