Langsung ke konten utama

Menyelami Makna Peribahasa Sunda "Asa Peunggas Leungeun Katuhu"

  Ilustrasi Jenis Pakaian Adat Sunda (Foto tangkapan layer dari https://learningsundanese.com/pakaian-adat-sunda-jenis-jenis-dan-makna-simbolik/)



Menjual Harapan – Pergulatan pergaulan kehidupan taubahnya berdampingan antara baik dan buruk. Ragam situasi buruk perlu dihindari, karena berakibat buruk pada khususnya diri sendiri, bahkan dalam kehidupan masyarakat, dan negara.

Menelusuri mencari sumber masalah yang menimbulkan situasi buruk tersebut dan menemukannya, berarti setidakanya setengah telah mengatasi situasi tersebut.

Ada dalam peribahasa Sunda yang populer, yaitu “Asa peunggas leungeun katuhu” . Secara harfiah berarti “harapan di ujung tangan kanan”. Pesan filosofisnya peribahasa Sunda ini mengajarkan pentingnya mempunyai harapan dan tekad kuat dalam menghadapi berbagai situasi yang sulit.

“Leungeun katuhu” (tangan kanan) disimbolkan atau dilambangkan sebagai kekuatan dan kemampuan untuk mencapai tujuan.

Iman Budhi Santoso (2016: 601) menjelaskan makna dari peribahasa Sunda tersebut, bahwa bagi orang kebanyakan (bukan kidal) fungsi tangan kanan sangatlah besar, nyaris lebih banyak dibandingkan dengan tangan kiri. Misalnya untuk menulis, makan, dan sebagainya. Jadi, makna peribahasa ini adalah menggambarkan bagaimana sulitnya (repotnya) jika kehilangan orang yang selama ini menjadi tumpuan untuk mendapatkan pertolongan.

Makna pesan nilai moral peribahasa sunda tersebut dalam menghadapi situasi buruk sekalipun adalah mempunyai tekad dan motivasi yang kuat dalam mencapai tujuan, memiliki optimisme atau harapan dan pandangan positif, serta kemandirian, dalam arti menekankan pentinya mengandalkan diri sendiri dalam mencapai keberhasilan.

Sebagai contoh di antaranya: Seorang pelajar yang ingin lulus dengan nilai tinggi harus memiliki “asa peunggas leungeun katuhu” dengan belajar yang tekun, dan giat. Seseorang yang mengalami kesulitan ekonomi harus mempunai harapan dan motivasi untuk bangkit.

Sebagai catatan akhir dari peribahasa Sunda “Asa peunggas leungeun katuhu”, peribahasa ini mengajarkan kita tentang pentingnya mempunyai harapan, tekad, dan motivasi (dari dalam diri sendiri) dalam menghadapi kesulitan. Dengan menerapkan nilai-nilai ini, dapat mencapai keberhasilan tujuan yang diidam-idamkannya. (Silahudin)

 

Referensi

Iman Budhi Santosa, 2016. Peribahasa Nusantara, Mata Air Kearifan Bangsa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan RUU Perampasan Aset, Menata Hak Publik

Oleh Silahudin SALAH  satu poin krusial tuntutan unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025 yang lalu, adalah soal Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini, memang sudah jauh-jauh hari diusulkan pemerintah, namun tampaknya masih belum menjadi prioritas prolegnas. Di tengah meningkatnya tuntutan publik seperti dalam 17+8 tuntutan rakyat, RUU ini menjadi salah satu poin tuntutannya yang harus dijawab sungguh-sungguh oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dalam tuntutan tersebut diberi tenggang waktu target penyelesaaiannya dalam kurun waktu satu tahun, paling lambat 31 Agustus 2026 (Kompas.id, 3/9/2025). RUU Perampasan Aset, tentu merupakan bagian integral yang menjanjikan reformasi struktural dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Selama ini, aset hasil kejahatan, terutama korupsi dan kejahatan ekonomi, tidak jelas rimbanya. RUU ini tampak visioner dimana menawarkan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan, sebuah pendekatan yang lebih progresif dan berpihak pada kepentingan ...

MENTERTAWAKAN NEGERI INI

Oleh: Silahudin MENJUAL HARAPAN - Mentertawakan negeri ini bukan karena kita tak cinta. Justru karena cinta itu terlalu dalam, hingga luka-lukanya tak bisa lagi ditangisi. Maka tawa menjadi pelipur, menjadi peluru, menjadi peluit panjang di tengah pertandingan yang tak pernah adil. Negeri ini, seperti panggung sandiwara, di mana aktor utamanya tak pernah lulus audisi nurani. Di ruang-ruang kekuasaan, kita menyaksikan para pemimpin berdialog dengan teleprompter, bukan dengan hati. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak pernah menyapa rakyat. Mereka bicara tentang pembangunan, tapi tak pernah membangun kepercayaan. Maka kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena getir yang terlalu lama dipendam. Pendidikan, katanya, adalah jalan keluar. Tapi di negeri ini, sekolah adalah lorong panjang menuju penghapusan imajinasi. Anak-anak diajari menghafal, bukan memahami. Mereka diuji untuk patuh, bukan untuk berpikir. Guru-guru digaji dengan janji, sementara kurikulum berganti seperti musim, tanpa...

Menjadi Wakil Rakyat Tidak Hanya Terpilih, Tapi Teruji

MENJUAL HARAPAN - Pemilihan umum merupakan gerbang masuk menuju ruang representasi, tetapi bukan jaminan bahwa seseorang telah siap menjadi wakil rakyat. Terpilih adalah pengakuan elektoral, sementara teruji adalah proses etis dan reflektif yang berlangsung sepanjang masa jabatan. Dalam konteks DPRD, menjadi wakil rakyat yang teruji berarti menjalankan fungsi kelembagaan dengan integritas, keberpihakan, dan kesadaran akan dampak sosial dari setiap keputusan. Demokrasi lokal membutuhkan wakil rakyat yang tidak hanya hadir secara politik, tetapi juga secara moral. Seperti dikemukakan oleh Max Weber (1919), “Politik yang bermakna adalah politik yang dijalankan dengan tanggung jawab, bukan dengan ambisi.” Maka, keterpilihan harus diikuti dengan proses pembuktian: apakah wakil rakyat mampu menjaga etika, mendengar publik, dan berpihak pada keadilan. Fungsi DPRD mencakup legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menuntut kapasitas analitis, keberanian politik, dan komitmen etis. Ter...