Langsung ke konten utama

Menyatunya Isu Partikular, Membentuk Gerakan Sosial Multisektor

 


MENJUAL HARAPAN - Peristiwa demo besar-besaran yang mengguncang berbagai kota di Indonesia pada 28 Agustus 2025, bukanlah sekadar luapan emosi sesaat. Dalam optik sosiologi politik, ini merupakan manifestasi dari akumulasi ketegangan struktural yang telah lama terpendam. Puncak kemarahan rakyat meledak ketika ruang publik dipenuhi oleh isu-isu yang secara fundamental mengancam kesejahteraan dan keadilan sosial.

Demo tersebut, mencerminkan kegagalan pemerintah (an) dalam mengelola kontrak sosial dengan rakyatnya. Kontrak sosial, dalam arti sederhana, merupakan kesepakatan tidak tertulis di mana rakyat memberikan legitimasi kepada negara untuk memerintah, dengan imbalan jaminan keamanan, kesejahteraan, dan keadilan. Ketika janji-janji tersebut tidak terpenuhi, legitimasi negara tergerus dan ketidakpuasan pun muncul.

Pemicu utama yang menjadi percikan api, adalah kebijakan pemerintah terkait aspek kehidupan, yang membebani lapisan masyarakat. Memang, bagi rakyat, bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga masalah keberlanjutan hidup. Sosiolog politik melihatnya sebagai sebuah perjuangan kelas di mana kelompok rentan merasa hak-hak dasarnya diabaikan demi kepentingan yang lebih besar, dan yang seringkali dianggap sebagai kepentingan elite. Ini menciptakan jurang yang lebar antara rakyat dan pembuat kebijakan, memperkuat narasi bahwa negara tidak lagi berpihak pada rakyatnya sendiri.

Seiring dengan itu, penyebaran informasi memainkan peran krusial dalam mobilisasi massa. Para aktivis, influencer, dan bahkan individu-individu yang vokal berhasil membangun sentimen bersama yang melampaui batas geografis.

Kecepatan informasi yang masif memungkinkan mereka untuk menyusun strategi, mengorganisir logistik, dan menyatukan suara. Ini adalah contoh nyata bagaimana teknologi mengubah lanskap mobilisasi politik, dari yang semula bersifat terpusat menjadi terdesentralisasi dan organik.

Memang, tidak semua yang turun ke jalan memiliki agenda tunggal. Demo ini juga merupakan arena koalisi kepentingan. Di dalamnya, kita bisa melihat aliansi antara mahasiswa, serikat buruh, kelompok petani, aktivis lingkungan, dan bahkan elemen-elemen politik yang berseberangan dengan pemerintah.

Masing-masing kelompok memiliki isu spesifik mereka, buruh menuntut upah layak, petani menuntut keadilan agraria, mahasiswa menuntut reformasi birokrasi, akan tetapi, mereka bersatu di bawah satu payung besar: ketidakpuasan terhadap pemerintah.

Dalam sosiologi politik, ini disebut sebagai gerakan sosial multisektoral, di mana berbagai isu partikular bertemu dan membentuk sebuah gelombang protes yang lebih besar dan kuat.

Respons dari negara terhadap demo, menjadi sorotan. Awalnya, pemerintah terlihat memilih jalan represif dengan pengerahan aparat keamanan. Akan tetapi, dari perspektif sosiologi politik mengajarkan bahwa koersi fisik tidak cukup untuk meredam tuntutan politik. Represi justru berpotensi memicu eskalasi dan simpati publik yang lebih luas.etika dialog macet dan kekerasan menjadi solusi, kepercayaan rakyat terhadap lembaga negara akan semakin luntur.

Peristiwa Agustus 2025 menjadi pengingat bahwa pengelolaan konflik adalah kunci untuk menjaga stabilitas politik, dan bahwa dialog yang tulus jauh lebih efektif daripada tindakan kekerasan.

Di sisi lain, demo ini juga mengungkapkan adanya pembelahan sosial di masyarakat. Meskipun banyak yang mendukung aksi protes, ada juga kelompok masyarakat yang khawatir akan dampak ekonomi dan stabilitas yang terganggu. Sosiolog politik melihat ini sebagai sebuah polaritas baru dalam masyarakat, mereka yang ingin perubahan radikal versus mereka yang menginginkan stabilitas, bahkan jika itu berarti status quo.

Perpecahan tersebut, sering dimanipulasi oleh kekuatan politik tertentu untuk mencapai agenda mereka sendiri, memperkeruh suasana dan membuat solusi menjadi semakin sulit dicapai. Rakyat, yang merasa tidak lagi terwakili oleh elite politik, memilih untuk menggunakan "kekuasaan jalanan" sebagai alat untuk menyuarakan tuntutan mereka.

Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya hidup di dalam lembaga-lembaga formal seperti parlemen dan pemilu, melainkan juga di ruang publik dan di jalan-jalan. Hal ini, menjadi pengingat bahwa kekuasaan rakyat (people's power) tetap menjadi kekuatan politik yang valid dan signifikan.

Peristiwa tersebut, memberikan pelajaran penting bagi masa depan. Untuk menghindari terulangnya kejadian serupa, diperlukan restrukturisasi hubungan antara negara dan masyarakat. Pemerintah perlu lebih proaktif dalam mendengarkan dan merespons aspirasi rakyat, bukan hanya pada saat-saat krisis. Tanpa perbaikan mendasar ini, api kemarahan rakyat hanya menunggu waktu untuk menyala kembali.

Oleh karena itu, demo Agustus 2025 dapat dipandang sebagai sebuah titik balik sosiologis. Ia memaksa kita untuk merenung tentang apa yang salah dengan sistem politik dan sosial kita. Ia mengungkapkan bahwa meskipun ada kemajuan ekonomi, ketidaksetaraan dan ketidakadilan tetap menjadi bom waktu.

Peristiwa demo tersebut, merupakan sebuah kritik sosial yang hidup terhadap struktur kekuasaan yang ada, dan menjadi pengingat bahwa dalam sebuah negara demokratis, suara rakyat tidak boleh diabaikan. (Silahudin, Pemerhati Sosial Politik)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengawasan Melekat (Waskat)

silahudin Ada ragam pengawasan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan, dan salah satunya adalah pengawasan melekat. Pengawasan melekat disingkat WASKAT merupakan salah satu kegiatan manajemen dalam mewujudkan terlaksananya tugas-tugas umum pemerintah (an) dan pembangunan. Waskat, sesungguhnya merupakan kegiatan manajemen sehari-hari yang dilakukan oleh pipinan atau atasan instandi pemerintah dalam setiap satuan unit kerjanya. Apa itu pengawasan melekat? dapat disimak pada video ini.

Menyelami Makna Peribahasa Sunda "Asa Peunggas Leungeun Katuhu"

   Ilustrasi Jenis Pakaian Adat Sunda (Foto tangkapan layer dari  https://learningsundanese.com/pakaian-adat-sunda-jenis-jenis-dan-makna-simbolik/ ) Menjual Harapan – Pergulatan pergaulan kehidupan taubahnya berdampingan antara baik dan buruk. Ragam situasi buruk perlu dihindari, karena berakibat buruk pada khususnya diri sendiri, bahkan dalam kehidupan masyarakat, dan negara. Menelusuri mencari sumber masalah yang menimbulkan situasi buruk tersebut dan menemukannya, berarti setidakanya setengah telah mengatasi situasi tersebut. Ada dalam peribahasa Sunda yang populer, yaitu “Asa peunggas leungeun katuhu” . Secara harfiah berarti “harapan di ujung tangan kanan”. Pesan filosofisnya peribahasa Sunda ini mengajarkan pentingnya mempunyai harapan dan tekad kuat dalam menghadapi berbagai situasi yang sulit. “Leungeun katuhu” (tangan kanan) disimbolkan atau dilambangkan sebagai kekuatan dan kemampuan untuk mencapai tujuan. Iman Budhi Santoso (2016: 601) menjelaskan makna dari ...

Konsistensi Cendekiawan “Memanusiakan” Peradaban

Ilustrasi gambar seorang cendekiawan (Foto hasil proses chat gpt) MENJUAL HARAPAN - Pergulatan berbagai kehidupan negara bangsa ini (nation state) , tampak nyaris tidak lepas dari sorotan kritisi cendekiawan.  Kaum cendekiawan terus bersuara dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti dalam sosial politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sejenisnya.  Sosok kehadiran cendekiawan di tengah pergulatan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tak dapat ditampik, niscaya selalu berkontributif.  Kehadirannya memiliki peran dan fungsi yang strategis, oleh karena kehadirannya senantiasa hirau dan peduli terhadap permasalahan-permasalahan bangsa demi menjunjung derajat kemanusiaan. Dalam bahasa lain, seseorang yang merasa berkepentingan untuk memikirkan secara rasional dan sepanjang pengetahuannya tentang bangaimana suatu masyarakat atau kemanusiaan pada umumnya bisa hidup lebih baik.  Oleh karena, setiap bangsa dan negara secara langsung atau tidak langsung memutuhkan peran...