"Freedom is not only the absence of constraints, but the presence of capabilities.” - Amartya Sen
MENJUAL HARAPAN - Dalam sistem demokrasi lokal, hak dan kewajiban DPRD bukanlah sekadar instrumen hukum, melainkan napas dari representasi politik yang hidup. Ketika hak dijalankan tanpa kesadaran akan kewajiban, maka demokrasi kehilangan keseimbangannya. Sebaliknya, ketika kewajiban dijalankan tanpa keberanian menggunakan hak, maka fungsi representatif menjadi tumpul. Artikel ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali bagaimana hak dan kewajiban DPRD dapat dijalankan secara proporsional, etis, dan berdampak.
Hak DPRD diatur secara konstitusional dan diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat adalah tiga pilar utama yang memungkinkan DPRD menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif. Hak ini bukan hanya soal prosedur, tetapi soal keberanian politik. Saldi Isra (2017) menjelaskan bahwa “Hak legislatif harus dijalankan dengan keberanian dan dasar etis, bukan sekadar alat tekanan politik.”
Akan tetapi, hak tidak berdiri sendiri. Ia harus dijalankan dalam bingkai kewajiban. Kewajiban DPRD mencakup menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat, menjaga etika publik, menyampaikan laporan kinerja, dan menjalankan fungsi legislasi dan anggaran secara bertanggung jawab. Jimly Asshiddiqie (2006) menegaskan bahwa “Demokrasi yang sehat dibangun dari kelembagaan yang sadar akan tanggung jawab konstitusional dan etika publik.” Maka, kewajiban adalah fondasi moral dari setiap hak yang dijalankan.
Dalam praktiknya, ketimpangan antara hak dan kewajiban sering kali terjadi. Hak digunakan secara agresif untuk membangun posisi politik, sementara kewajiban seperti pelaporan publik atau menjaga etika sering kali diabaikan. Ketika hal ini terjadi, kepercayaan publik terhadap DPRD menurun. Demokrasi yang seharusnya bernapas menjadi sesak oleh kepentingan politik yang tidak berpihak.
Kepercayaan publik merupakan modal utama dari demokrasi lokal. Transparency International (2022) menekankan bahwa integritas politik adalah fondasi dari legitimasi kelembagaan. Ketika DPRD menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang, maka publik tidak hanya melihat demokrasi, tetapi merasakannya. Dalam kata-kata Amartya Sen (1999), “Freedom is not only the absence of constraints, but the presence of capabilities.” Maka, hak dan kewajiban harus dijalankan untuk memperluas kemampuan publik dalam mengakses keadilan dan partisipasi.
Hak bertanya dan menyampaikan pendapat juga menjadi ruang penting bagi anggota DPRD untuk menjalankan fungsi representatif. Namun, hak ini harus dijalankan dengan data, refleksi, dan keberpihakan. Ketika pertanyaan hanya menjadi formalitas, maka fungsi kontrol kehilangan maknanya. Kewajiban untuk mendalami isu, mendengar konstituen, dan menyusun argumen menjadi bagian dari etika legislatif.
Kewajiban menyerap aspirasi masyarakat sering kali terjebak dalam rutinitas reses. Padahal, reses seharusnya menjadi ruang deliberatif antara wakil rakyat dan warga. Robert Dahl (1989) menyatakan bahwa “Partisipasi yang bermakna adalah syarat utama dari demokrasi yang sehat.” Maka, kewajiban ini harus dijalankan dengan metode partisipatif seperti forum warga, survei kebijakan, dan pelibatan komunitas lokal.
Hak keuangan dan protokoler juga harus dijalankan dalam bingkai transparansi. Ketika hak ini digunakan tanpa pelaporan publik, maka muncul persepsi negatif terhadap DPRD. Kewajiban untuk menyampaikan laporan kinerja dan penggunaan anggaran menjadi bagian dari akuntabilitas kelembagaan. Demokrasi yang sehat membutuhkan transparansi sebagai napas dari kepercayaan publik.
Kewajiban menjaga etika dan integritas menjadi tantangan tersendiri. Dalam banyak kasus, konflik kepentingan, korupsi, dan pelanggaran etika menjadi sorotan publik terhadap DPRD. Oleh karena itu, penguatan sistem pelaporan publik, transparansi aset, dan pelatihan etika politik menjadi langkah penting untuk menjaga kredibilitas kelembagaan. Etika bukan hanya soal perilaku, tetapi soal keberanian untuk berubah.
Hak legislasi juga harus dijalankan dengan substansi. Ketika DPRD mengusulkan rancangan Perda, maka kewajiban untuk menyusun naskah akademik, melakukan harmonisasi, dan melibatkan publik menjadi bagian dari proses legislasi yang bermakna. Saldi Isra (2017) menegaskan bahwa “Legislasi yang baik bukan hanya soal prosedur, tetapi soal substansi dan keberanian.” Maka, hak ini harus dijalankan dengan kedalaman dan keberpihakan.
Kewajiban untuk menyampaikan laporan kinerja tahunan menjadi ruang refleksi kelembagaan. Ketika laporan disusun dengan jujur dan komunikatif, maka publik dapat menilai dan memberikan masukan. Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang evaluasi yang terbuka. Hak untuk membela diri juga harus dijalankan dengan etika, bukan sebagai alat untuk menghindari tanggung jawab.
Hak imunitas anggota DPRD adalah perlindungan terhadap fungsi representatif. Namun, hak ini tidak boleh digunakan untuk melindungi pelanggaran hukum. Kewajiban untuk menjaga marwah kelembagaan dan tidak menyalahgunakan hak menjadi bagian dari etika legislatif. Demokrasi yang bernapas adalah demokrasi yang dijalankan dengan kesadaran penuh akan batas dan tanggung jawab.
Dalam konteks kelembagaan, hak dan kewajiban harus dijalankan secara kolektif dan kolegial. Fraksi, komisi, dan badan-badan DPRD harus menjadi ruang deliberatif yang menjunjung nilai. Ketika keputusan diambil secara terbuka dan berdasarkan data, maka hak dan kewajiban menjadi instrumen perubahan sosial.
Dengan demikian, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban DPRD adalah tentang menjadikan demokrasi sebagai ruang etis. DPRD sebagai jantung dari demokrasi lokal harus menjadi institusi yang tidak hanya menjalankan fungsi, tetapi menghidupkan harapan. Demokrasi yang bernapas adalah demokrasi yang dijalankan dengan nurani, refleksi, dan komitmen terhadap nilai.* (Sjs_267)
Komentar