| Gedung DPR/MPR RI |
MENJUAL HARAPAN - Ketika sorak-sorai pemilu mereda dan para anggota DPR/DPRD resmi dilantik, sesungguhnya babak paling menentukan baru saja dimulai. Di titik ini, mandat rakyat bukan lagi sekadar angka elektoral, melainkan amanah yang menuntut integritas, keberanian moral, dan kapasitas intelektual. Seperti yang dikatakan oleh Hannah Arendt, “Politik bukanlah soal kekuasaan, melainkan soal tanggung jawab terhadap dunia bersama” (Arendt, 1958). Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah para wakil rakyat siap menghadapi ujian sesungguhnya?
Dalam lima tahun ke depan, anggota legislatif akan diuji bukan hanya oleh konstituen mereka, tetapi juga oleh sejarah. Laporan Indonesian Parliamentary Center (IPC) menunjukkan bahwa hanya separuh aspirasi masyarakat sipil yang diserap oleh DPR periode 2019–2024, sementara hampir seluruh aspirasi pengusaha diakomodasi (Sumber: https://www.kompas.id/artikel/dpr-2019-2024-berakhir-apa-saja-catatan-kritis-dari-publik). Ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin ketimpangan representasi yang mengkhianati prinsip demokrasi deliberatif.
Fungsi legislasi pun tak luput dari sorotan. Dari 263 RUU yang masuk dalam Prolegnas 2019–2024, hanya sekitar 10% yang berhasil disahkan (Sumber: https://www.kompas.id/artikel/dpr-2019-2024-berakhir-apa-saja-catatan-kritis-dari-publik). Padahal, menurut John Rawls (1971), keadilan sosial hanya bisa dicapai jika institusi-institusi publik menjalankan fungsinya secara adil dan efisien. Ketika legislasi mandek, maka keadilan pun tertunda.
Lebih jauh, fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif sering kali tumpul. Alih-alih menjadi penyeimbang, DPR justru kerap menjadi “stempel” kebijakan pemerintah (Sumber: https://www.kompas.id/artikel/dpr-2019-2024-berakhir-apa-saja-catatan-kritis-dari-publik). Dalam konteks ini, Amartya Sen (1999) mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga soal akuntabilitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan. Tanpa pengawasan yang kuat, parlemen kehilangan daya kritisnya.
Di sisi lain, kehadiran anggota dalam rapat-rapat penting masih menjadi masalah klasik. Tingkat absensi tinggi menunjukkan lemahnya etos kerja dan komitmen terhadap tugas publik. Sebagaimana diungkap oleh mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, “Menjadi wakil rakyat bukanlah pekerjaan biasa, melainkan panggilan untuk melayani kepentingan bangsa.” Ketidakhadiran adalah bentuk pengkhianatan terhadap panggilan tersebut.
Kendati demikian, kritik ini bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk membangun. Sebab, seperti diungkap oleh Paulo Freire (1970), “Kritik sejati adalah bentuk cinta terhadap perubahan.” Maka, anggota DPR/DPRD perlu membuka diri terhadap evaluasi publik dan membangun mekanisme refleksi internal yang berkelanjutan.
Salah satu langkah konkret adalah memperkuat kanal partisipasi publik. Legislator harus aktif membuka ruang dialog dengan konstituen, bukan hanya menjelang pemilu. Model seperti “policy labs” dan forum warga bisa menjadi instrumen demokrasi partisipatoris yang menjembatani jarak antara rakyat dan wakilnya. Menurut Archon Fung (2006), partisipasi yang bermakna adalah kunci untuk meningkatkan legitimasi dan kualitas kebijakan publik.
Selain itu, transparansi anggaran dan proses legislasi harus menjadi prioritas. Teknologi digital memungkinkan publik untuk mengakses informasi secara real-time. Platform seperti e-Parlemen dan open data legislatif harus dioptimalkan, bukan sekadar menjadi etalase formalitas. Dalam era post-truth, transparansi adalah benteng terakhir melawan manipulasi politik.
Etika publik juga perlu ditegakkan. Legislator bukan hanya pembuat undang-undang, tetapi juga teladan moral. Dalam konteks Indonesia yang plural, keberpihakan terhadap kelompok rentan dan minoritas harus menjadi kompas etis. Seperti dikatakan oleh Bung Hatta, “Kekuasaan tanpa idealisme adalah tirani.” Maka, idealisme harus menjadi bahan bakar utama dalam menjalankan mandat.
Anggota DPR/DPRD harus menyadari bahwa mereka bukan hanya aktor politik, melainkan juga aktor sejarah. Setiap keputusan, setiap suara yang mereka berikan di ruang sidang, akan tercatat dalam jejak demokrasi bangsa. Hal ini diungkap oleh Yuval Noah Harari (2018), “Sejarah tidak menunggu mereka yang ragu.” Maka, keberanian untuk berpihak pada kebenaran adalah ujian tertinggi dari kepemimpinan publik. (Silahudin, Dosen FISIP Unnur Bandung)
Komentar