MENJUAL HARAPAN-Di sebuah negeri yang penuh dengan janji-janji surga, sebuah program agung diluncurkan: Jamuan Gizi Gratis. Bukan sekadar makanan, ia adalah simfoni harapan yang dimainkan di piring-piring baja anak bangsa, sebuah investasi pada masa depan yang dikemas dalam sebongkah nasi dan sepotong lauk.
Proyek ini dibaptis dengan nama mulia, ditujukan untuk mengisi lumbung lapar dan mencerdaskan benak yang masih kosong, menjadikan setiap tegukan sebagai sumpah bakti pada kesejahteraan.
Namun, di balik megahnya tirai rencana, bersembunyi sesosok raksasa tak kasat mata yang memiliki nafsu tak terpuaskan: Dewa Cuan. Dewa ini bersemayam di ruang-ruang rapat berpendingin, berbisik melalui laporan keuangan, dan menggenggam erat setiap anggaran. Baginya, Jamuan Gizi Gratis bukanlah misi kemanusiaan, melainkan sebuah tambang emas baru yang harus dikeruk hingga ke serpihan terakhirnya, tak peduli pada debu apa yang ditinggalkan.
Alegori ini bercerita tentang Timbangan. Di satu sisi diletakkan Kualitas Makanan—kesegaran bahan, ketepatan nutrisi, dan keamanan. Di sisi lain, diletakkan Margin Laba—persentase keuntungan, potongan komisi, dan efisiensi belanja yang dipaksakan. Saat Timbangan itu diangkat oleh tangan-tangan yang 'kebelet cuan', sisi Kualitas langsung terangkat ringan ke udara, sementara sisi Laba menghunjam berat ke bumi. Keseimbangan telah dikorbankan.
Demi menyenangkan Dewa Cuan, para 'Juru Masak Istana' yang ditunjuk pun mulai bermain sulap. Daging yang seharusnya berisi protein utuh diganti dengan ampas. Sayuran segar dibeli dari pasar termurah dengan standar kedaluwarsa yang diabaikan. Bumbu-bumbu yang kaya rasa digantikan oleh garam dan pengawet demi daya tahan logistik. Setiap rupiah yang seharusnya jatuh ke keranjang pangan anak-anak, berbelok, dan masuk ke kantong-kantong tebal.
Proses pengadaan makanan ini bagaikan sebuah rantai makanan terbalik. Di puncak rantai, terdapat para pemburu laba yang mengincar proyek; di tengah, ada subkontraktor yang memeras harga hingga batas nol; dan di dasar, ada juru masak lapangan yang hanya mampu menyajikan sisa-sisa dari sisa, makanan yang hampir tak layak konsumsi, apalagi disebut bergizi.
Piring-piring itu, yang semestinya menjadi lambang kehangatan, berubah menjadi medium pengkhianatan. Makanan yang disajikan bukan lagi 'gizi gratis', melainkan sebuah Lotere Rasa Sakit. Anak-anak, dengan mata polos penuh harap, memakan bekal itu, tidak menyadari bahwa di dalamnya terkandung bukan hanya kalori, tetapi juga kecerobohan dan kerakusan yang tersembunyi.
Dan lumbung mana yang paling mudah diserang? Tentu saja lumbung yang paling lemah: daerah terpencil, sekolah yang minim pengawasan, komunitas yang suaranya paling lirih. Di sana, di mana pengawasan publik adalah ilusi, Jamuan Gizi pun diubah menjadi proyek siluman, di mana kuantitas mengalahkan kualitas dan laba adalah raja tunggal.
Pagi itu, di berbagai penjuru ‘desa alegori’ ini, simfoni harapan mendadak berubah menjadi rintihan. Anak-anak yang tadi berseri-seri menyambut jamuan, kini terbaring lemah. Keracunan massal adalah manifestasi paling jujur dari Timbangan yang timpang. Itu bukan sekadar virus atau salah masak, itu adalah gejala sosial dari sistem yang sakit, di mana nyawa dinilai lebih murah daripada selembar uang kertas.
Tubuh-tubuh kecil itu, yang seharusnya menjadi benteng masa depan, kini adalah saksi bisu kegagalan moral. Perut yang mual dan kepala yang pusing adalah protes fisik terhadap janji yang diingkari. Mereka menjadi cermin yang memantulkan wajah buruk dari ambisi politik dan bisnis yang tidak dibingkai oleh etika.
Ketika berita mulai merangkak naik ke permukaan—seperti buih hitam di air yang jernih—terjadi kepanikan di kalangan ‘Juru Bicara Istana’. Reaksi pertama bukanlah penyesalan tulus, melainkan upaya pembersihan citra. Mereka menyemprotkan parfum retorika untuk menutupi bau busuk dari makanan yang dicurigai, mengubah narasi dari 'kegagalan sistem' menjadi 'kasus insidental'.
"Ini hanya kebetulan," ujar salah satu petinggi dengan Juba Sutra yang berkilauan. "Mungkin anak-anak itu lemah, atau air minumnya yang tercemar. Bukan salah rotinya," katanya, melempar tanggung jawab dari piring hidangan ke mulut yang memakan, dari pengelola proyek ke penerima manfaat.
Tanggapan ini adalah racun kedua yang disuntikkan ke dalam kesadaran publik. Ketika kebenaran diganti dengan pembelaan diri yang menyakitkan hati, masyarakat disuguhi tontonan ironis: para pelayan rakyat yang lebih sibuk melindungi reputasi dan pundi-pundi para cukong, ketimbang mengkhawatirkan kesehatan anak-anak yang terbaring lemas.
Uang yang mengalir ke proyek ini bukanlah uang receh, melainkan Aliran Sungai Emas. Besarnya anggaran yang digelontorkan justru menjadi magnet bagi Tikus Berdasi yang melihatnya sebagai kolam renang pribadi. Mereka berenang bebas dalam anggaran itu, menciptakan riak-riak korupsi kecil yang terakumulasi menjadi gelombang kerugian besar, yang hasilnya berupa roti basi.
Di mata mereka yang 'kebelet cuan', angka adalah segalanya. Mereka hanya melihat persentase penghematan dalam pengadaan bahan baku, tanpa menghitung harga sosial dari penghematan tersebut. Mereka lupa bahwa satu digit persentase keuntungan yang ditambahkan, berarti satu porsi nutrisi yang dicabut dari piring anak-anak.
Maka, terciptalah sebuah ironi tragis: program yang diniatkan sebagai solusi untuk mengatasi "lapar gizi" justru menimbulkan "lapar etika" di kalangan pelaksananya. Kebutuhan finansial segelintir orang telah mencabut hak fundamental anak-anak untuk makan dengan aman dan sehat.
Keracunan ini merupakan surat peringatan yang ditulis dengan tinta muntah dan air mata. Ia mengingatkan bahwa niat baik tanpa pengawasan ketat dan hati nurani yang tegak akan selalu disabotase oleh kepentingan tersembunyi. Proyek sebesar ini seharusnya memiliki Dinding Kaca Transparansi, bukan benteng baja kerahasiaan.
Kita menyaksikan bagaimana visi agung tentang Kue Berbagi diubah menjadi Kue Beracun. Kue itu memang dibagi, tetapi hanya remah-remahnya yang bernutrisi jatuh ke tangan rakyat, sementara lapisan krim keuntungan yang tebal dimakan habis oleh para penyelenggara yang curang.
Pemerintah, sebagai Arsitek Bangsa, memiliki tanggung jawab moral untuk meruntuhkan kuil Dewa Cuan yang dibangun di atas penderitaan rakyat. Penyelidikan harus dimulai dari hulu, menelusuri setiap mata rantai pengadaan, dan menyeret mereka yang menukarkan kualitas gizi dengan keuntungan pribadi ke hadapan Timbangan Keadilan yang sesungguhnya.
Kita tidak boleh hanya terpaku pada berita keracunan, melainkan pada akar penyakitnya: mentalitas 'kebelet cuan' yang merasuki setiap proyek publik. Selama mentalitas ini tidak dicabut, setiap program kesejahteraan, sebesar dan semulia apapun niatnya, akan selalu menjadi ladang subur bagi para pemburu rente, dengan anak-anak sebagai tumbal yang tak bersalah.
Maka, ketika piring-piring baja itu kembali diisi, semoga ia tidak lagi membawa janji kosong dan racun tersembunyi. Semoga Jamuan Gizi Gratis benar-benar menjadi gizi yang tulus, bukan lagi komoditas politik atau ajang bisnis yang diperdagangkan dengan harga nyawa. Sebab, kemanusiaan yang sesungguhnya adalah ketika kita berani mengatakan: "Cukup sudah, cuan tidak lebih berharga dari senyum polos seorang anak." (Sjs_267)
Komentar